BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa
transisi dan Sekolah Dasar ke
Sekolah Menengah Pertama berada pada periode yang
penting ditandai
dengan pesatnya pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan yang disebut masa
pubertas.
Transisi
memasuki sekolah menengah atau sekolah menengah pertama dari sekolah dasar
merupakan sebuah pengalaman normative yang dialami semua anak (Santrock :
2007). Pada saat individu memasuki lingkungan baru mereka diuntut untuk dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar dapat hidup dan berkembang dengan
baik, meskipun pengalaman ini bersifat normative namun terdapat kecemasan yang
menimbulkan stress karena mereka menemukan banyak perubahan yang terjadi pada
diri sendiri, keluarga, guru, teman dan lingkungan sekolah, begitupun yang
dikemukakan Akos (Duchesne at. al :
2012). The transition from elementary to
middle school has long been recognized as a potentially anxiety-provoking
turning point
Siswa
akan menemui banyak perubahan, Ketika pada jenjang Sekolah Dasar semua mata
pelajaran di ajarkan oleh guru yang sama sekaligus berperan sebagai wali kelas,
pada saat mereka memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama mereka dihadapkan
pada guru yang lebih banyak berdasarkan mata pelajaran yang diampunya dan
terdapat perbedaan frekuensi pertemuan dengan wali kelas yang sangat
signifikan, selain itu pada umumnya siswa baru memiliki kekhawatiran kerena
sebelumnya berada pada kelompok pertemanan yang homogen menjadi kelompok kawan
yang lebih besar dan heterogen dan menyesuaikan diri dengan pelajaran yang
lebih banyak dari sebelumnya. hasil sebuah penelitian Akos (Duchesne at. al : 2012) menyebutkan bahwa
“The research on sources of stress experienced by adolescents
entering middle school suggests that the ability to adapt to new teaching and
evaluative practices, maintain elementary school performance, and establish
harmonious relationships with other students and adults at school are typical
concerns at this time”
Artinya
adalah kekhawatiran-kekhawatiran atau kecemasan pada masa transisi ini yang
dirasakan siswa adalah terkait dengan adaptasi atau penyesuian terhadap
guru-guru baru beserta praktek evaluasi, mempertahankan performa di sekolah
terkait dengan prestasi dan bagaimana menjalin persahabatan yang harmonis
dengan teman-teman yang lain dan kakak tingkatnya. Begitupun kekhawatiran yang
dirasakan oleh orangtua ketika anaknya akan memasuki Sekolah Menengah Pertama
berdasarkan hasil penyebaran angket terhadap 342 pasangan suami istri di
Amerika Serikat menyebutkan bahwa kekhawatiran orangtua pada masa ini
teridentifikasi tiga ranah kekhawatiran yaitu (a) worries about academic demands, (b)
worries about teachers, and (c) worries about peers. (Duchesne at. al : 2012).
Kenakalan remaja yang kali
ini kerap menjadi tren berita di berbagai media masa dan elektronik menjadi
indikasi adanya penyesuaian diri yang salah. Berbagai kasus yang terjadi
diantaranya adalah perilaku merokok, perkelahian, tawuran, konsumsi minuman
keras, pencurian penyalahgunaan obat-obatan dan sex bebas menjadi fenomena yang
mengerikan.
Data dari
Komisi Perlindungan Anak (2011) tersedia www.komnaspa.or.id
menyebutkan bahwa 62,7 persen remaja
SMP di Indonesia sudah tidak perawan. Survei Komnas PA dilakukan terhadap 4.500
remaja pada 12 kota besar seluruh Indonesia pada tahuun 2011. hasil survey
lebih dalam dikatakan bahwa 93,7 persen siswa SMP dan SMA pernah melakukan
ciuman, 21,2 persen remaja SMP mengaku pernah aborsi, dan 97 persen remaja SMP dan SMA pernah melihat
film forno dan 93,7% dari para remaja itu mengaku pernah
melakukan berbagai macam adegan intim tanpa penetrasi. Data
perokok anak usia 10 -14 tahun 2010 meningkat 6 kali lipat, pada tahun
1995 sejumlah 71.100 orang menjadi 426.200. Sepanjang tahun 2011, Komnas
Perlindungan Anak mencatat 339 kasus tawuran. Sepanjang tahun yang sama KomNas
Anak menerima 1.851 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai
pelaku) yang diajukan ke pengadilan. Hampir 52% dari angka tersebut
adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba,
perjudian, serta penganiayaan.
Elizabeth B. Hurlock (1993:213) mengemukakan bahwa
salah satu tugas perkembanga tersulit adalah yang berhubungan dengan
penyesuaian social. Menurutnya dikatakan tersulit dalam penyesuaian diri karena
meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku social,
pengelompokkan social yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan,
nilai-nilai baru dalam memilih pemimpin.
Bimbingan
teman Sebaya dapat dijadikan media yang tepat untuk membantu memfasilitasi
penyesuaian diri siswa baru. Teman sebaya dianggap sebagai orang yang mau
mendengarkan dan mengerti karena memiliki pengalaman yang relative sama, teman
sebaya juga dianggap tempat yang paling aman dalam menyampaikan berbagai
keluhan dan kecemasan. Santrock (2007 : 55) juga mengungkapkan bahwa salah satu
fungsi terpenting dari kelompok kawan sebaya adalah sebagai sumber informasi
mengenai dunia di luar keluarga. Bimbingan teman sebaya akan membantu siswa
agar memperoleh penyesuaian diri yang baik. Menurut Ryan dan Patrick (Santrock
2007 : 57) relasi yang positif dengan kawan sebaya berkaitan dengan penyesuaian
social yang positif.
Berdasarkan
pemaparan diatas teman sebaya memiliki kaitan penting untuk mencapai
penyesuaian social yang positif pada masa transisi ini. Berdasarkan berbagai
permasalahan penyesuaian diri yang dihadapi remaja pada masa transisi tersebut
yang menuntut siswa untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik maka diperlukan
bantuan untuk memfasilitasi perkembangan siswa agar berkembang secara optimal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
pemaparan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan focus permasalahan yang
akan dibahas pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep bimbingan teman sebaya dan
konsep penyesuaian diri di sekolah ?
2. Bagaimana bimbingan teman sebaya dapat
dijadikan strategi bimbingan dalam mengembangkan penyesuaian diri siswa baru di
Sekolah Menengah Pertama?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memperoleh pemahaman tentang konsep bimbingan teman
sebaya dan konsep penyesuaian diri di sekolah.
2. Memperoleh bentuk strategi bimbingan teman
sebaya untuk mengembangkan penyesuaian diri siswa baru di Sekolah Menengah
Pertama.
D.
Manfaat
Penulisan
Manfaat Penulisan makalah ini khususnya bagi
mahasiswa Psikologi Pendidikan dan Bimbingan adalah memberikan pemahaman baru
tentang Bimbingan Teman Sebaya dan Penyesuaian Diri kemudian menjadi bahan
diskusi tentang penerapan strategi bimbingan teman sebaya dalam mengembangkan
Penyesuaian Diri Siswa baru di Sekolah Menengah Pertama.
BAB II
BIMBINGAN PADA MASA TRANSISI DARI SEKOLAH DASAR KE SEKOLAH MENENGAH PERTAMA
A.
Konsep
Bimbingan dan Konseling
1. Pengertian
Bimbingan dan Konseling
Pengertian
bimbingan dan konseling memiliki pengertian yang berbeda atau terpisah. Maka,
pentingnya membahas konsep dasar bimbingan dan konsep dasar konseling.
Shertzer
dan Stone, 1971:40 (Uman Suherman, 2007:9), memandang bimbingan sebagai process of helping and individual to
understand himself and his word.
Kartadinata,
1998:3 (Uman Suherman, 2007:9) menjelaskan bimbingan merupakan proses membantu
individu untuk mencapai perkembangan optimal.
Sementara
Rochman Natawidjaja, 1987:37 (Syamsu Yusuf, 2009:38) mengartikan bimbingan
sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada siswa yang dilakukan secara
berkesinambungan, supaya siswa tersebut dapat memahami dirinya, sehingga dia
sanggup mengarahkan dirinya dan bertindak secara wajar, sesuai dengan tuntutan
dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, dan kehidupan pada
umumnya. Dengan demikian dia akan menikmati kebahagiaan hidupnya, dan dapat
memberi sumbangan yang berarti kepada kehidupan masyrakat pada umumnya.
Bimbingan membantu siswa mencapai perkembangan diri secara optimal sebagai
makhluk sosial.
Berdasarkan
beberapa pengertian bimbingan yang dikemukakan, maka dapat di ambil makna bahwa
bimbingan adalah proses bantuan yang diberikan konselor kepada konseli dengan
cara berkesinambungan dan memandirikan, sehingga individu dapat mencapai
perkembangan diri yang optimal baik secara pribadi maupun sosial yang sesuai
dengan norma yang ada pada masyarakat.
Bimbingan tidak
bisa terlepas dari konseling, sebab bimbingan dan konseling adalah kegiatan
yang integral. Bimbingan secara luas sedangkan konseling sebagai alat untuk
mencapai yang ingin dituju dari proses bimbingan.
Rogers
(Suherman, 2002:94) mendefinisikan konseling sebagai serangkaian hubungan
(kontak) langsung dengan individu yang ditujukan memberikan bantuan kepadanya
dalam merubah sikap dan tingkah lakunya.
Selanjutanya
Mortensen (Suherman, 2002:95) mendefinikan konseling sebagai proses hubungan
antar seseorang dimana seorang dibantu oleh yang lainnya untuk meningkatkan
pengertian dan kemampuan dalam menghadapi masalah.
ASCA (American School Counselor Association )
(Yusuf dan Nurihsan, 2008:8) mengemukakan bahwa konseling adalah hubungan tatap
muka yang bersifat rahasia, penuh dengan sikap penerimaan dan pemberian
kesempatan dari konselor kepada klien, konselor mempergunakan pengetahuan dan
keterampilannya untuk membantu kliennya mengatasi masalah-masalahnya.
Berdasarkan
uraian pengertian konseling diatas, maka dapat disimpulkan bahwa konseling
merupakan proses bantuan yang diberikan kepada individu dalam upaya
memfasilitasi atau membantu individu untuk mengatasi masalah-masalahnya, dengan
hubungan kontak langsung dengan individu dengan memandang bahwa setiap individu
adalah berbeda atau unik.
2.
Tujuan Bimbingan dan Konseling
Tujuan
pelayanan bimbingan ialah agar konseli dapat : (1) merencanakan kegiatan
penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupannya di masa yang akan
datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya
seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan,
lingkungan masyarat serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan
kesulitan yang hadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkungan pendidikan,
masyarakat, maupun lingkungan kerja. (ABKIN, 2007)
Untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut, mereka harus mendapatkan kesempatan untuk : (1)
mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkembangannya, (2)
mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya, (3)
mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian
tujuan tersebut, (4) memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri, (5)
menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat
bekerja dan masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari
lingkungannya; dan (7) mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang
dimilikinya secara optimal. (ABKIN, 2007). lebih khusus layanan bimbingan di SMP menurut Ahman (2011) bertujuan
untuk membantu siswa agar dapat memenuhi tugas-tugas perkembangan yang
berkaitan dengan aspek pribadi sosial, pendidikan, dan karier sesuai dengan
tuntutan lingkungan. Dalam aspek perkembangan pribadi sosial layanan bimbingan
membantu siswa agar:
a. Memiliki pemahaman diri
b. Mengembangkan sikap positif
c. Membuat pilihan kegiatan secara sehat
d. Mampu menghargai orang lain
e. Memiliki rasa tanggung jawab
f. Mengembangkan keterampilan hubungan antarpribadi
g. Dapat menyelesaikan masalah
h. Dapat membantu keputusan secara baik.
Dalam
aspek perkembangan pendidikan, layanan bimbingan membantu siswa agar dapat :
a.
Melaksanakan
cara-cara belajar yang benar
b.
Menetapkan
tujuan dan rencana pendidikan
c.
Mencapai
prestasi belajar secara optimal sesuai bakat dan kemampuannya
d.
memiliki
keterampilan untuk menghadapi ujian
Dalam
aspek perkembangan karir, layanan bimbingan membantu siswa agar dapat:
a.
Mengenali
macam-macam dan ciri0ciri dari berbagai jenis
pekerjaan
b.
Menentukan
cita-cita dan merencanakan masa depan
c.
mengeksplorasi
arah pekerjaan
d.
Menyesuaikan
keterampilan, kemampuan, dan minat dengan jenis pekerjaan.
B. Konsep Penyesuaian Diri di Sekolah
Transisi
memasuki sekolah menengah atau sekolah menengah pertama dari sekolah dasar
merupakan sebuah pengalaman normative yang dialami semua anak (Santrock :
2007). Pada saat individu memasuki lingkungan baru mereka diuntut untuk dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar dapat hidup dan berkembang dengan
baik, meskipun pengalaman ini bersifat normative namun terdapat kecemasan yang
menimbulkan stress karena mereka menemukan banyak perubahan yang terjadi pada
diri sendiri, keluarga, guru, teman dan lingkungan sekolah.
Ketika
siswa melalui transisi dari sekolah dasar menuju sekolah menengah pertama ,
mereka mengalami top-dog-phenomenon (Santrock
: 2007). Kondisi ini adalah perubahan dari siswa yang paling tua, paling besar,
dan paling kuat di sekolah dasar, menjadi siswa yang paling muda, paling kecil,
dan paling lemah di sekolah menengah pertama. Transisi di sekolah menengah
memang membuat siswa perempuan mengalami perubahan pubertas ketika mereka berada
dalam konteks yang luas dan impersonal dari sekolah menengah, namun sekolah
menengah tidak mengurangi frekuensi remaja menjadi siswa paling muda.
Menurut
Fenzel dkk (Santrock : 2007) Sekolah yang memberikan lebih banyak dukungan,
sedikit anominitas, stabilitass yang lebih besar, dan komplektifitas yang lebih
rendah dapat meningkatkan penyesuaian diri siswa di masa transisi dari sekolah
dasar memasuki sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas.
Dibawah
ini adalah beberapa hal yang dapat mendukung keberhasilan siswa di sekolah
menengah, diantaranya adalah :
1)
Mengembangkan
“komunitas-komunitas” atau “rumah-rumah” yang lebih kecil untuk mengurangi
sifat dasar dari sekolah menengah yang lebih besar dan tidak personal.
2)
Memperkecil
perbandingan antara jumlah siswa dan konselor dari beberapa ratus orang banding
satu menjadi sepuluh orang banding satu.
3)
Mengembangkan
kurikulum yang menghasilkan para siswa yang terpelajar, memahami ilmu
pengetahuan, dan memiliki pemahaman mengenai kesehatan, etika, dan kewarganegaraan.
4)
Membuat
guru mengajar dengan menggunakan kerangka kurikulum yang lebih fleksibel, yang
mengintegrasikan beberapa disiplin ilmu, daripada sekedar menyampaikan
materi-materi pelajaran secara terpisah dan dibatasi secara kaku olehwaktu
sebanyak 50 menit.
5)
Mendorong
kesehatan dan kebugaran para sisawa dengan lebih banyak menggunakan
program-program sekolah dan menolong para siswa yang membutuhkan perawtan
kesehatan masyarakat agar dapat memperolehnya.
Pada
hakikatnya hidup manusia adalah penyesuaian diri, manusia dituntut untuk
menyesuaikan diri sepanjang hidupnya untuk memenuhi segala kebutuhannya. Penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku
individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu
dengan lingkungannya. Menurut Scheneiders (Yusuf : 2008: 28) penyesuaian (adjustment) adalah suatu proses yang
melibatkan respon-respon mental dan perbuatan dalam upaya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dan mengatasi ketegangan, frustasi dan konflik secara
sukses. Selajutnya dia menjelaskan ciri-ciri orang yang memiliki penyesuaian
diri yang baik (well adjusted), yaitu mampu merespon
(kebutuhan dan masalah) secara matang, efisien, puas, dan sehat (wholesome). Menurut Syamsu Yusuf (2008)
yang dimaksud efisien disini adalah hasil yang diperolehnya tidak banyak
membuang energy waktu, atau kekeliruan. Sementara wholesome adalah respon
individu itu sesuai dengan hakikat kemanusiaannya, hubungan dengan yang lain,
dan hubungannya dengan tuhan.
Penyesuaian
diri dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang diantaranya menurut Sunarto
(Haeny : 2010) adalah sebagai berikut :
1)
Penyesuaian
berarti adaptasi; dapat mempertahankan eksistensinya, atau bias “survive” dan memperolah kesejahteraan
jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan
tuntutan social.
2)
Penyesuaian
sebagai konformita, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau
prinsip.
3)
Penyesuaian
sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan
respon-respon sedemikian rupa, shingga bias mengatasi segala macam konflik,
kesulitas, dan frustasi-frustasi sedara efisien. Individu memiliki kemampuan
menghadap realitas hidup dengan cara yang adekuat atau memenuhi syarat.
4)
Penyesuaian
sebagai penguasaan dan kematangan emosional. Kematangan emosonal artinya
individu secara positif memiliki respon emosional yang tepat pada setiap
situasi.
1.
Karakteristik Penyesuaian Diri
Scheneiders
(Yusuf : 2008: 28) mengemukakan penyesuaian yang normal terdiri dari beberapa karakteristik
diantanya sebagai berikut :
a) Absence of excessive emotionality (terhindar dari ekspresi emosi yang
berlebih-lebihan, merugikan, atau tidak mampu mengontrol diri)
b)
Absence of psychological mechanism (terhindar dari mekanisme-mekanisme psiklogis, seperti rasionalisasi,
agresi, kompensasi dsb)
c) Absence of the sense of personal
frustrations (terhindar
dari perasaan frustrasi atau perasaan kecewa karena tidak terpenuhi
kebutuhannya)
d)
Rational
deliberation and self-direction (memiliki pertimbangan rasional, yaitu mempu memecahkan dan mengarahkan
diri sesuai dengan keputusan yang diambil)
e) Ability to learn (mampu belajar, mampu mengembangkan dirinya, khususnya
yang berkaitan dengan upaya memenuhi kebutuhan atau mengatasi masalah)
f) Utilization of past experience (mampu memanfaatkan terkait pengalaman masa lalu,
bercermin dari masa lalu baik yang terkait dengan keberhasilan maupun kegagalan
untuk mengembangkan kualitas hidup yang lebih baik)
g)
Realistic, objective attitude (bersikap objektif dan realistic, mempu menerima kenyataan yang dihadapi
secara wajar; mampu menghindari, merespon situasi atau masalah secara rasional,
tidak didasari oleh prasangka buruk)
Menurut
Syamsu Yusuf (2008:27) Penyesuaian diri dapat di klasikasikan menjadi tiga kelompok
yaitu: (a) gejala masalah yang meliputi neuroik, psikotik, psikopatik,
epileptic; (b) jenis kualitas respon, meliputi: penyesuaian yang normal da
penyesuaian yang tidak normal, seperti deference
reactions, escape and with drawing, illness dan aggression; (c) jenis
masalah, meliputi: personal, social, keluarga, akademik, vokasional dan marital
(pernikahan).
Sementara itu Syamsu Yusuf juga menambahkan tentang
respon-respon bentuk penyesuaian yang menyimpang diantaranya :
a)
Reaksi
bertahan (individu di kepung oleh tuntutan-tuntutan dari dalam diri sendiri (needs) dan dari luar (pressure dari lingkungan) yang
kadang-kadang menganggu rasa aman egonya. Untuk melindungi rasa aman egonya
itu, individu mereaksi dengan mekanisme pertahanan diri (defence mechanism)
b)
Reaksi
menyerang (agresi adalah bentuk respon unul mereduksi ketegangan dan frustasi
nmelalui media tingkah laku yang merusak, berkuasa atau mendominasi)
c)
Reaksi
melarikan diri dari kenyataan (merupakan pertahanan diri terhadap tuntutan,
desakan, atau ancaman dari lingkungan. Escape merefleksikan perasaan kejenuhan,
atau putus asa, sementara withdrawal mengindikasikan kecemasan atau ketakutan)
d)
Penyesuaian
dengan patalogis (individu yang mengalaminya perlu mendapat perawata khusus,
yaitu bersifat klinis, bahkan perlu perawatan di rumah sakit. Yang termasuk
penyesuaian patalogis ini adalah “neurosis”
dan “psikosis”
e)
Tingkah
laku anti social (merupakan tingkah laku yang bertentangan dengan norma
masyarakat (baik secara formal = hukum/undang-undang maupun inormal = adat
istiadat, dan norma agama.
f)
Kecanduan
dan ketergantungan alcohol dan obat terlarang
g)
Penyimpangan
seksual dan aids.
2. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi penyesuaian diri
Menurut Sunarto (Haeny:2010) secara keseluruhan
kepribadian meiliki fungsi sebagai penentu utama terhadap peyesuaian diri.
Maksud dari penentu adalah factor yang mendukung, mempengaruhi, serta
menimbulkan dampak dalam proses penyesuaian. Secara utama berarti proses
penyesuaianditentukan oleh factor-faktor
yang menentukan kepribadian tersebut baik internal maupun eksternal.
Factor-faktor yang menentukan penyesuaian diri dapat di kelompokan sebagai
berikut
a)
Kondisi
fisik
Kondisi fisik yang ada pada diri
siswa meliputi bentuk tubuh, kesehatan, penyakit dan sebagainya.
b)
Perkembangan
dan kematangan
Meliputi kematangan emosional,
intelektual, social, dan moral
c)
Penentu
psikologis
Termasuk pengalaman, belajarnya,
deterministi diri, konflik dan penyesuaian.
d)
Kondisi
lingkungan, khususya keluarga, masyarakat dan sekolah.
e)
Cultural
dan agama sebagai penentu penyesuaian diri.
C.
Strategi
Bimbingan Teman Sebaya
Pengertian
Bimbingan teman sebaya dalam rambu-rambu Bimbingan dan Konseling (2007:228)
yaitu bimbingan yang dilakukan oleh peserta didik terhadap peserta didik
lainnya, dimana peserta didik yang menjadi pembimbing sebelumnya diberikan
latihan atau pembinaan oleh konselor, sama halnya yang dipaparkan oleh Syamsu
Yusuf (2009:84) bahwa bimbingan teman sebaya adalah bimbingan yang dilakukan
oleh siswa terhadap siswa yang lainnya.
Teman sebaya adalah anak atau remaja yang memiliki
tingkat kematangan yang kurag lebih sama (Santrock :2007) siswa akan lebih
nyaman memiliki relasi dengan orang yang memiliki tingkat kematangan yang sama
dibandingkan dengan teman yang memiliki usia yang relative sama namun tingkat
kematangannya berbeda jauh.
Sulisworo Kusdiyati, Lilim Halimah dan Faisaluddin
(2011) para ahli psikologi mengatakan bahwa teman sebaya tidak hanya diartikan
sebagai kumpulan teman bermain, tetapi lebih merupakan perpaduan dari :
a.
Interaksi
dasar regular
b.
Mempunyai
rasa saling pengertian
c.
Memberikan
norma yang spesifik secara implicit dan eksplisit mengenai bagaimana nggota
dapat memperkirakan bagaimna bertingkah laku yang bai.
Mengembnagkan
struktur dan hierarki kelompok yang memungkinkan tiap aggotanya untuk dapat
bekerjasama kearah tujuan yang memungkinkan tiap anggotanya untuk dapat bekerja
sama kearah tujuan dan prestasi bersama.
BAB III
PEMBAHASAN
Kebutuhan akan layanan bimbingan di sekolah menengah pertama (SMP)
muncul dari karakteristik dan masalah-masalah perkembangan peserta didik. Tujuan
bimbingan pada masa ini adalah sebagai berikut :
Dalam aspek perkembangan pribadi sosial layanan
bimbingan membantu siswa agar:
1.
Memiliki
pemahaman diri
2.
Mengembangkan
sikap positif
3.
Membuat
pilihan kegiatan secara sehat
4.
Mampu
menghargai orang lain
5.
Memiliki
rasa tanggung jawab
6.
Mengembangkan
keterampilan hubungan antarpribadi
7.
Dapat
menyelesaikan masalah
8.
Dapat
membantu keputusan secara baik.
Dalam aspek perkembangan pendidikan, layanan bimbingan
membantu siswa agar dapat :
1.
Melaksanakan
cara-cara belajar yang benar
2.
Menetapkan
tujuan dan rencana pendidikan
3.
Mencapai
prestasi belajar secara optimal sesuai bakat dan kemampuannya
4.
memiliki
keterampilan untuk menghadapi ujian
Dalam
aspek perkembangan karir, layanan bimbingan membantu siswa agar dapat:
1.
Mengenali
macam-macam dan cirri-ciri dari berbagai jenis
pekerjaan
2.
Menentukan
cita-cita dan merencanakan masa depan
3.
Mengeksplorasi
arah pekerjaan
4.
Menyesuaikan
keterampilan, kemampuan, dan minat dengan jenis pekerjaan.
Karakteristik siswa pada
masa remaja awal yaitu dimulai dari pubertas,
yang ditandai dengan perubahan yang pesat dalam berbagai aspek perkembangan,
baik fisik maupun psikis. Menurut Yusuf dan Sugandhi (2011:77) secara harfiyah pubertas berasal dari bahasa latin puberscence (yang berarti “to grow hairy”), yang berarti tumbuhnya bulu-bulu, seperti bulu di
sekitar kelamin, ketiak, dan muka. Secara istilah, kata pubertas berarti proses
pencapaan kematangan seksual dan kemampuan untuk bereproduksi. Menurut Laurence
Steinberg (Yusuf dan Sugandhi : 2011) ada tiga perubahan fundamental pada masa
remaja, yaitu sebagai berikut.
1.
Biologis,
seperti mulai matangnya alat reproduksi, tumbuhnya buah dada pada anak wanita,
dan tumbuhnya kumis pada pria
2.
Kognisi,
yaitu kemampuan untuk memikirkan konsep-konsep yang abstrack (seperti
persaudaraan, demokrasi, dan moral), dan mampu berpikir hipotesis (mampu
memikirkan hal-hal yang mungkin terjadi berdasarkan pengalamannya)
3.
Sosial,
yaitu perubahan dalam status sosial yang memungkinkan remaja (khususnya remaja
akhir) masuk ke peran-peran atau aktivitas-aktivitas baru, seperti bekerja,
atau menikah.
Transisi sekolah menuntut remaja untuk dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yaitu sekolah disamping mereka sedang
mengalami periode pubertas pada hidupnya sehingga siswa memiliki kesulitan
dalam hal menyesuaikan diri. Tidak sedikit siswa memperoleh tekanan hingga
akhirnya mereka cemas dan frustrasi.
Penyesuaian diri di sekolah menurut Noona Kiuru dkk
(2009) meliputi tiga aspek penyesuaian diantaranya adalah penyesuaian terhadap
prestasi akademik, kepuasan terhadap jalur pendidikan dan school engagement.
Jika siswa tidak dapat menyesuaikan diri maka siswa akan mengalami burnout di
sekolah. Oleh karena itu diperlukan bimbingan dalam untuk memenuhi kebutuhan
siswa pada masa awal masuk ke SMP dengan tujuan umum yaitu siswa mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yaitu sekolah sehingga mampu berprestasi
di sekolah.
Strategi yang diterapkan adalah strategi bimbingan
teman sebaya. Bagi banyak remaja pandangan kawan-kawan terhadap dirinya
merupakan hal yang paling penting. Menurut Sanrock dan Harhup (Sukaesih : 2011)
studi kontemporer tentang remaja menunjukan bahwa hubungan positif dengan teman
sebaya diasosiasikan dengan penyesuaian social yang positif dan teman sebaya
memberikan fungsi-fungsi social dan psikologis yang penting bagi masyarakat.
Fungsi penting lainnya mengenai kelompok teman sebaya yaitu sebagai sumber
informasi mengenai dunia di luar keluarga. Remaja memperoleh umpan balik
mengenai kemampuannya dari kelompok teman sebaya. Remaja mempelajari bahwa apa
yang mereka lakukan itu lebih baik, atau kurang baik, dibandingkan
remaja-remaja lainnya. Mempelajari hal ini di rumah tidak mudah dilakukan
karena saudara kandung biasanya lebih tua atau lebih muda. (Santrock : 2007)
Santrock juga menerangkan bahwa relasi yang baik di
antara kawan-kawan sebaya dibutuhkan bagi perkembangan social yang normal di
masa remaja. Syamsu Yusuf (Sukaesih : 2011) melihat dari kajian psikologis,
pergaulan yang terjadi diantara teman sebaya di pandang sebagai wahana untuk
mewujudkan atau memenuhi kebutuhan social, yaitu (1) kebutuhan akan pengakuan
social atau orang lain (need for
affiliation); (2) kebutuhan akan keterkaitan dan cinta kasih (belongness and love); (3) kebutuhan
akan rasa aman dan perlindungan (safety
needs); (4) kebutuhan akan kebebasan (independence);
(5) kebutuhan akan harga diri, hasrat untuk dihargai oranglain (self-esteem needs).
Shaffer (Sulisworo Kusdiyati, Lilim Halimah dan
Faisaluddin : 2011:185) memaparkan tentang bagaimana teman sebaya menggunakan
perannya, diantaranya sebagai berikut :
1.
Teman
sebaya sebagai penguat social
Teman sebaya
Teman sebaya merupakan sumber yang cukup potensial sebagai penguat tingkah laku
remaja, karena teman sebaya dapat memberikankkesamaan status terhadap remaja.
Ketika teman sebaya menginstruksikan untuk beberapa tingkah laku yang
diinginkan kelompok dan mengabaikan tingkah laku lain secara signifikan dapat
mempengaruhi tingkah laku yang akan dimunculkan remaja. Perilaku individu dapat
diperkuat, dipertahankan, ataupun menjadi hilang dengan melihat reaksi yang
menyenangkan atau tidak menyenangkan yang diberikan oleh teman sebayanya
terhadap tindakan yang dilakukannya.
2.
Teman
sebaya sebagai model tingkah laku remaja
Pengaruh
teman sebaya tidak hanya sebagai penguat dan pemberi hukuman, tetapi juga
sebagai social model. Atribut-atribut
dan aktivitas-aktivitas lain secara mudah diperoleh dengan mengamati model
teman sebaya dalam bertingkah laku. Fungsi lain dari model teman sabaya adalah
sebagai informasi bagi individu mengenai bagaimana remaja dapat bertingkah laku
pada situasi yang berbeda melalui imitasi dari model-model yang dominan serta
anggota-anggota dalam kelompok teman sebaya.
3.
Teman
sebaya sebagai obyek dalam perbandingan social
Remaja
sering kali sampai pada kesimpulan-kesimpulan mengenai kemampuan mereka dan
aspek-aspek kepribadian lainnya, dengan memperbandingkan tingkah laku dan
prestasi mereka dengan teman sebayanya. Hal ini dikarenakan teman sebaya adalah
individu yang memiliki usia yang sama, menjadikan teman sebaya lebih merupakan
pilihan yang logis bagi perbandingan sosial yang serupa.
4.
Teman
sebaya sebagai pengkritik dan agen untuk meyakinkan anggotanya
Kelompok
teman sebaya sering kali menjadikan tempat untuk mendiskusikan dan
memperdebatkan hal-hal yang tidak mereka setujui. Seorang remaja akan lebih
mudah dibujuk atau dikriktik oleh teman sebayanya dibandingkan oleh orang tua
atau guru. Bujukan dari teman sebaya sering kali dapat mengubah pandangan
remaja terhadap sesuatu hal tertentu. Hal ini dilakukan remaja untuk membentuk
atau membina suatu hubungan baik dengan kelompok sebayanya.
Melalui
keempat peranan teman sebaya diatas, remaja berusaha untuk membina relasi yang
baik dengan kelompok teman sebayanya, untuk dapat diterima oleh kelompoknya,
remaja akan berusaha mengikuti setiap tingkah laku yang ditampilkan oleh
teman-teman kelompoknya.
Berdasarkan
urgensi diatas maka bimbingan teman sebaya disini adalah bimbingan yang
diberikan oleh perwakilan kakak tingkat kelas VIII dan IX yang telah dipilih
dan diberi pelatihan untuk melaksanakan bimbingan terhadap adik tingkatnya.
Tujuan umum bimbingan teman sebaya iadalah untuk membantu siswa baru memperoleh
penyesuaian diri yang baik sehingga dapat berprestasi disekolah sedangkan
tujuan khusus yaitu
1.
Siswa
dapat menjalin relasi yang baik dengan teman-teman barunya, kakak tingkat,
guru-guru dan personel sekolah lainnya.
2.
Siswa
memiliki manajemen waktu dalam menghadapi pelajaran yang lebih banyak dan
kegiatan yang lebih banyak dari sebelumnya.
3.
Siswa
dapat berminat dan aktif dalam kegiatan ekstraklikuler di sekolah.
4.
Menumbuhkan
kepedulian kakak tingkat terhadap adik tingkatnya.
Materi yang akan dikembangkan pada
bimbingan teman sebaya ini adalah sebagai berikut :
a. Memiliki pemahaman diri
b. Mengembangkan sikap positif
c. Membuat pilihan kegiatan secara sehat
d. Mampu menghargai orang lain
e. Memiliki rasa tanggung jawab
f. Mengembangkan keterampilan hubungan antarpribadi
g. Dapat menyelesaikan masalah
h. Dapat membantu keputusan secara baik.
i.
Melaksanakan
cara-cara belajar yang benar
j.
Menetapkan
tujuan dan rencana pendidikan
k. memiliki keterampilan untuk menghadapi ujian
l.
Menentukan
cita-cita dan merencanakan masa depan
Bimbingan ini dilaksanakan selama satu semester dari
awal MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik) sampai menjelang akhir semester,
semester kedua digunakan sebagai pelatihan calon tutor teman sebaya. Bimbingan
teman sebaya dilaksanakan setiap hari selama MOPD, kemudian pertemuan
selanjutnya dilaksanakan setiap dua minggu sekali.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bimbingan pada
masa transisi adalah proses bantuan yang
diberikan konselor kepada konseli dengan cara berkesinambungan dan memandirikan untuk membantu mengembangkan penyesuaian diri siswa
di sekolah sehingga individu dapat mencapai
perkembangan diri yang optimal baik secara pribadi maupun sosial yang sesuai
dengan norma yang ada pada masyarakat. salah satu strategi bimbingan yang digunakan adalah Bimbingan teman
sebaya yaitu bimbingan yang dilakukan oleh peserta didik terhadap peserta didik
lainnya, dimana peserta didik yang menjadi pembimbing, sebelumnya diberikan
latihan atau pembinaan oleh konselor. Bimbingan ini dilaksanakan selama satu
semester dari awal MOPD (Masa Orientasi Peserta Didik) sampai menjelang akhir
semester, semester kedua digunakan sebagai pelatihan calon tutor teman sebaya.
Bimbingan teman sebaya dilaksanakan setiap hari selama MOPD, kemudian pertemuan
selanjutnya dilaksanakan setiap dua minggu sekali.
DAFTAR
PUSTAKA
Santock (2007) Remaja, Jilid 2, Edisi 11.(Alih bahasa Widyasinta) Jakarta : Erlangga
Duchesne (2012). “Worries About
Middle School Transition and Subsequent Adjustment : The Moderating Role
Classroom Goal Structure”. The Journal of
Early Adolescence 32, (5), 681
–710
Kusdiyati S, Lilim H,
dan Faisaluddin (2011). “Penyesuaian Diri di Lingkungan Sekolah Pada Siswa Kelas XI SMA Pasundan 2 Bandung. Jurnal Humanitas Universitas Islam Bandung. VIII (2), 172-186
Suherman, Uman. (2007). Manajemen Bimbingan
dan Konseling. Bekasi: Madani Production.
Sukaesih (2011). Hubungan Antara Interaksi Sosial Teman Sebaya Dengan
Kemandirian Remaja. Skripsi
Sarjana Strata Satu pada UPI Bandung.
ABKIN.
(2007). Rambu-Rambu Penyelenggaraan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta.
Yusuf, Syamsu (2008). Mental Hygiene. : Terapi Psiko-spiritual untuk Hidup Sehat Berkualitas.
Bandung : Maestro
Yusuf dan Sugandhi (2011). Perkembangan Peserta Didik.
Jakarta : Raja Grafindo Persada
Yusuf dan Nurihsan (2006).
Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya
Noona Kiuru, dkk (2011). “Peer group homogeneity in
adolescents’ school adjustment varies according to peer group type and gender”.
International Journal of Behavioral Development, 2009, 33 (1), 65–76
Haeny, Ida Noor (2010) Program Bimbingan Kelompok Untuk
Mengembangkan Penyesuaian Diri Siswa. Tesis Magister pada UPI Bandung.
Hurlock. (1993). Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan (Terjemahan Isti Widayanti). Jakarta: Erlangga.
Komisi
Perlindungan Anak (2011). Laporan Tahunan. [online]. Tersedia di : www.komnaspa.or.id. (7 Oktober 2012)
0 comments:
Post a Comment