Inilah sisi feminin dari sepakbola yang maskulin
Andrea Hirata begitu cerdas menguak sisi ini. “Dugaan bahwa
perempuan gila bola semata karena penampilan atraktif pemainnya, atau senang
melihat kali-laki tampah bersimbah keringat, memakai celana yang lucu,
berlepotan lumpur, berlari tunggang langgang, bertabrakan tertungging-tungging,
lalu tersenyum manis ternyata keliru.
Bagi sebagian perempuan lapangan bola dan warna-warninya
adalah lukisan, pertandingan bola bak konser, dengan pemain sebagai musisi dan
para penonton bak backing vocal. Integritas
pemain, daya juang, dan sportivitas, mereka perhatikan. Slogan, lagu-lagu
penyemangat, dan pada iklan apa saja pemain kesayangannya telah tampil adalah
detail yangs ering terlewatkan penonton pria.
Gol adalah penting tapi bukan ukuran kesetiaan mereka pada
tim. Mereka mencari riwayat hidup pribadi pemain favorit. Mereka tahu soal
teknis, misal off side, dan
sebagainya tapi malas bicara soal itu. Mereka mencintai sebuah tim karena
alasan-alasan yang lebih romantik dan intelek ketimbang sebuah gol. Mereka bangun
dini hari, untuk menemani suami, anak-anak, atau saudara-saudara lelaki
menonton bola dan merasa senang karena melihat kesenangan keluarga pada waktu yang
aneh, pagi buta.
Semua hal ada dalam sepak bola. Terompet memekakkan, kembang
api yang ditembakkan dan api suar yang dilambai-lambaikan dari atas pagar
pembatas oleh kelaki kurus tak berbaju itu adalah perayaan kegembiraan. Bendera
raksasa yang berkibar-kibar adalah psikologi.
Mars penyemangat yang gegap gempita adalah seni. Orang-orang yang yang duduk di podium kehormatan-di tempat
paling nyaman menonton bola-adalah politik dan orang-orang berdasi yang sibuk
dengan telepon genggamnya di belakang jajaran politisi itu adalah bisnis.
Lelaki kurus tadi yang sehari-hari berdagang asong di
gerbong kereta listrik bogor-Jakarta menabung lama demi membeli tiket menonton
PSSI lalu teriak mendukung PSSI sampai habis suaranya hingga peluit panjang di
bunyikan adalah keikhlasan. Para pemain menunduk untuk berdoa adalah agama. Penjaga gawang memeluk tiang
gawang sebelum bertanding adalah budaya. Ratusan
moncong kamera yang membidik lapangan adalah sejarah. Ayah yang membawa
anak-anaknya untuk menonton bola adalah cinta.
Bocah-bocah murid SD inpres dipinggiran bekasi yang patungan untuk menyewa
angkot, berdesak-desakan dai dalam mobil omprengan demi mendukung PSSI adalah patriotisme. Catatan skor pada papan
elektronik raksasa yang di tatap dengan perasaan senang yang meluap-luap atau kecemasan
yang tak terperikana adalah sastra yang
tak ada bandingannya. Menjadi penggila bola berarti menjadi bagaian dari
keajaiban peradaban manusia.
0 comments:
Post a Comment