Bunuh diri pada anak menjadi pembicaraan hangat
di berbagai media massa maupun elektronik tentang banyaknya anak usia Sekolah Dasar yang melakukan bunuh diri,
di Indonesia sepanjang tahun 2011, Komnas Perlindungan Anak
mencatat, sejak Januari hingga Juni 2011, ada 23 anak melakukan upaya percobaan
bunuh diri. Dari jumlah tersebut, enam anak bisa diselamatkan sementara 17
lainnya meninggal. Ditahun
yang sama ada pengaduan 182 kasus percobaan bunuh diri pada anak-anak. “Yang
mengejutkan dan memrihatinkan ada 5 anak usia balita di dalamnya dan dua di
antaranya meninggal (Indriani : 2012) http://www.beritasatu.com/anak-bunuh-diri/42559-komnas-pa-tahun-2011-6-balita-meninggal-akibat-upaya-bunuh-diri.html. Bunuh diri merupakan upaya menghilangkan nyawa
diri sendiri dengan cara tertentu, bunuh diri ini disebabkan oleh masalah yang kompleks
karena tidak diakibatkan oleh penyebab atau alasan tunggal.
Sulit untuk menjelaskan mengenai penyebab mengapa orang memutuskan untuk
melakukan bunuh diri, sedangkan yang lain dalam kondisi yang sama bahkan lebih
buruk tetapi tidak melakukannya (Nova : 2011) http://www.novariyantiyusuf.net/konsultasi-online/187-bunuh-diri-dan-upaya-pencegahan.html.
Namun menurut Sciarra (2004 : 249) yang paling beresiko untuk bunuh diri yaitu anak yang menderita depresi.
Depresi pada anak yang tergolong pada level berat dapat memicu anak
berkeinginan untuk bunuh diri.
Nina (Indriani : 2012) http://www.beritasatu.com/anak-bunuh-diri/42559-komnas-pa-tahun-2011-6-balita-meninggal-akibat-upaya-bunuh-diri.html.
Fokus kajian pada artikel ini yaitu membahas
tentang konsep bunuh diri pada anak dan faktor yang mempengaruhi, depresi
sebagai penyebab utama anak melakukan bunuh diri, bagaimana prediksi cara
menangani siswa yang beresiko bunuh diri beserta ilustrasi kasusnya dan
bagaimana prediksi upaya pencegahan agar siswa tidak beresiko melakukan bunuh
diri. Fenomena bunuh diri pada anak ini memerlukan perhatian khusus dari
seluruh lapisan masyarakat dengan peranannya masing-masing, tujuan penulisan
artikel ini adalah agar kita lebih peka terhadap fenomena bunuh diri pada anak
dan memahami implikasinya terhadap masyarakat terutama bagi konselor sekolah
yang pada akhirnya semua pihak dapat bertindak aktif-produktif sesuai dengan
perannya masing-masing.
A.
Bunuh Diri Pada Anak dan Faktor yang Mempengaruhinya
Bunuh diri adalah
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan nyawa sendiri .
Orang yang melakukan tindakan bunuh diri mempunyai pikiran dan perilaku
yang merupakan perwakilan (representing) dari kesungguhan untuk mati dan juga
merupakan manifestasi kebingungan (ambivalence) pikiran tentang kematian. Hoeksema (Aris: 2008) http://chillinaris.wordpress.com/tag/bunuh-diri-dalam-perspektif-psikologi/.
Lyttle membedakan antara bunuh diri (suicide)
dengan usaha bunuh diri (parasuicide). Lyttle menjelaskan
bunuh diri (suicide) sebagai tindakan
fatal untuk mencederai diri sendiri yang dilakukan dalam kesadaran untuk
merusak diri yang kuat atau secara sungguh-sungguh (conscious self-destructive intent). Sementara usaha bunuh diri (parasuicide) merujuk pada tindakan
menyakiti diri sendiri yang dilakukan dengan pertimbangan yang mendalam yang
biasanya tidak berakibat fatal. Usaha bunuh diri (parasuicide), biasanya juga digambarkan sebagai percobaan bunuh
diri (attempted suicide) seperti mengkonsumsi obat-obat terlarang. Lyttle ( Aris : 2008) http://chillinaris.wordpress.com/tag/bunuh-diri-dalam-perspektif-psikologi/.
Secara kognisi menurut Piaget (Yusuf, 2004 : 178) pemikiran anak
usia 2 sampai 6 tahun berada pada tahapan pra-operasional
dimana anak belum dapat mereaksi rangsangan intelektual karena berkembangnya
fantasi atau symbolic fungtion. Anak tersebut juga memiliki kecenderungan untuk meniru
orang di sekelilingnya (Amirullah : 2008) http://muhammad-amirullah.blogspot.com/2011/09/perkembangan-kognitif-pada-anak-anak.html. Secara emosi anak usia ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi,
mudah marah, takut terhadap sesuatu, cemas, cemburu dll. Menurut Arist
(Indriani : 2012) http://www.beritasatu.com/anak-bunuh-diri/42559-komnas-pa-tahun-2011-6-balita-meninggal-akibat-upaya-bunuh-diri.html anak usia ini melakukan upaya bunuh diri adalah karena mereka meniru dari adegan yang ditayangkan di
Televisi, mereka sendiri belum paham apa itu bunuh diri. Karakteristik anak
yang cenderungan untuk meniru apa yang terjadi di lingkungannya dan rasa ingin
tahu serta keinginan mengeksplorasi yang sangat tinggi jika tidak didampingi
dengan pengasuhan yang tepat dan lingkungan yang tidak baik seperti membiarkan
anak menonton sinetron yang memperlihatkan pemainnya mengancam untuk bunuh diri
disertai dengan adegan bunuh diri maka ketika keinginan anak tidak dipenuhi
oleh orangtuanya timbulah stres pada anak kemudian anak akan cenderung mencoba
melakukan hal yang sama yaitu bunuh diri.
Sementara itu pada anak usia Sekolah Dasar daya pikir mereka sudah
berkembang ke arah berpikir konkret dan rasional (dapat diterima akal berkaitan
dengan dunia nyata) yang oleh Piaget dinamakan masa operational konkret, dalam hal ini anak sudah dapat memahami apa
yang di lihat di sekitarnya, mereka cenderung telah memahami apa itu bunuh diri
dan bagaimana cara melakukannya serta apa akibat yang ditimbulkannya, hal ini
diperkuat dengan perkembangan psikososial anak yang menurut Erikson (Rian :
2008) http://zhuldyn.wordpress.com/materii-lain/perkembangan-peserta-didik/konsep-dan-dinamika-perkembangan-kognitif/ , berada
pada tahap industry vs inveriority yaitu dorongan
untuk mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di
pihak lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya
kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan
kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri, selain itu yang paling
penting dan berpengaruh besar yaitu terletak pada perkembangan emosinya,
kemampuan anak dalam mengontrol emosinya adalah melalui peniruan dan latihan
(pembiasaan), anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang emosinya
cenderung kurang stabil dan kurang kontrol maka seperti melampiaskan kemarahan
dengan cara yang agresif , kecewa atau pesimis dalam menghadapi masalah dan
mudah mengeluh maka perkembangan emosi anak cenderung kurang stabil (Yusuf, 2004:181). Resiko bunuh diri
pada anak usia Sekolah Dasar sangat erat kaitannya dengan depresi. Perasaan
pesimis, putus asa, agresif,
stress merupakan sebagian dari beberapa gejala depresi.
Menurut Arist (Indriani : 2012) http://www.beritasatu.com/anak-bunuh-diri/42559-komnas-pa-tahun-2011-6-balita-meninggal-akibat-upaya-bunuh-diri.html, sebagian besar anak usia SD yang melakukan bunuh diri adalah karena mereka stress.
B.
Depresi Pada Anak Usia Sekolah Dasar
Menurut sebuah
situs tentang kesehatan mental, Psychcentral, depresi tak lagi kenal batas
usia, anak-anak, bahkan balita pun bisa mengalaminya, dalam sebuah penelitian
yang dilakukan di Washington University School of Medicine, periset menemukan,
anak-anak juga alami gejala depresi yang sering ditemukan pada orang dewasa,
bahkan dengan tingkat keparahan serupa. (Indriani : 2012) http://www.beritasatu.com/anak-bunuh-diri/42603-waspadai-gejala-depresi-pada-anak.html.
Seorang psikiater menyampaikan berlawanan dengan orang dewasa, anak kecil tidak mampu memahami implikasi
dari bunuh diri. Mereka menyatakan hal tersebut (secara tanpa sadar) lebih sebagai
rengekan minta tolong, dan menampilkan isyarat ancaman yang mereka dapatkan
dari rumah. ( Petter :2010) http://erabaru.net/kesehatan/34-kesehatan/9280-depresi-pada-anak.
Dijelaskan oleh
Anna Surti Ariani (Indriani: 2012) http://www.beritasatu.com/anak-bunuh-diri/42603-waspadai-gejala-depresi-pada-anak.html, bahwa depresi memiliki beberapa tahapan, yaitu level sederhana
biasanya tandanya anak hanya murung dan tidak berlebihan. Untuk level sedang
atau ringan sudah memengaruhi nafsu makan, murung berhari-hari, merengek, dan
manja. Lalu untuk level berat, bisa sampai kondisi ingin bunuh diri, gejalanya
sampai tidak bisa tidur, pola makan amat terpengaruh, tak berhenti menangis,
tidak mau menerima bantuan, dan tidak punya spontanitas, gejala-gejala awalnya
bisa terlihat seperti gejala stres.
Ratih menambahkan bahwa beberapa gejala anak stres antara lain; mudah
rewel, mudah tersinggung, pemarah, kehilangan minat, kepercayaan diri luntuh,
menunjukkan sikap gelisah, uring-uringan, dan menarik diri dari pertemanan.
Tambahan dari Psychcentral, gejalanya juga melingkupi
hal-hal fisik yang berulang dan tanpa sebab fisik, seperti sakit perut dan
pusing. Selain itu, masalah sulit konsentrasi dan pelupa, untuk tingkat
ekstremnya, cenderung bermain dengan barang-barang berbahaya, baik ditujukan
untuk diri sendiri maupun orang lain. Gejala-gejala di atas ini bisa pula
terjadi karena masalah tidak terpenuhinya kebutuhan fisik, seperti malnutrisi,
alergi, atau masalah penyakit lain yang bisa menyebabkan mood mudah marah,
kelelahan, dan penarikan diri. Jika ingin memastikan ini adalah gejala depresi,
pastikan kebutuhan fisik ini terpenuhi. (Indriani:2012) http://www.beritasatu.com/anak-bunuh-diri/42603-waspadai-gejala-depresi-pada-anak.html.
Depresi merupakan penyebab
utama anak usia Sekolah Dasar melakukan bunuh diri. Namun yang menyebabkan
seseorang depresi juga beragam menurut Durkheim dalam bukunya Suicide menganalisa bahwa faktor solidaritas sangat
terkait dengan kecendrungan seseorang melakukan bunuh diri. Secara implisit,
solidaritas sosial terkait dengan faktor ekonomi dan keluarga. (Rio : 2010). Menurut Nina penyebab utama anak depresi adalah hubungan yang tidak
dekat dengan orangtua. Anak yang sering dicaci maki oleh orangtua atau siapa pun
yang merawatnya, cenderung rapuh, tidak punya konsep diri kuat. (Indriani:2012) http://www.beritasatu.com/anak-bunuh-diri/42603-waspadai-gejala-depresi-pada-anak.html, faktor lainnya yaitu genetik
dan lingkungan. Psychcentral
mengatakan, depresi pada anak bisa terjadi pada anak yang keluarganya memiliki
riwayat depresi. Nina mengatakan
"Pengaruh genetik seperti itu
biasanya lebih banyak datang dari ibu. Ibu cenderung mengalami depresi saat
kehamilan juga setelah melahirkan. Anak-anak yang dibesarkan oleh ibu depresi
juga cenderung mengalaminya. Bayangkan, ia selalu melihat ibu berwajah muram
dan sedih sejak kecil, pasti mencontoh,"
Faktor lingkungan tempat anak dibesarkan memiliki pengaruh
terhadap kondisi mental anak. Kekerasan fisik, termasuk kekerasan seksual dan
verbal, pengabaian, penggunaan zat-zat terlarang oleh keluarga, serta kehilangan
orang yang dicintai bisa menjadi penyebab depresi pada anak. Sementara Ratih
menambahkan, faktor-faktor yang menyebabkan stres juga bisa terakumulasi
menjadi depresi, seperti; stimulasi berlebihan atau kekurangan stimulasi, pola
asuh salah (otoriter, tidak konsisten), dan tekanan sosial (tidak memiliki apa
yang anak lain miliki tetapi tidak diberi pengertian perbedaannya dari anak
lain). (Indriani : 2012) http://www.beritasatu.com/anak-bunuh-diri/42603-waspadai-gejala-depresi-pada-anak.html.
Ketika melakukan
riset pada anak-anak yang depresi, profesor Herbert Scheithauer di Free
University of Berlin menyimpulkan bahwa perkembangan depresi kebanyakan
berkaitan dengan lingkungan sosial mereka.Peristiwa kritis dalam kehidupan
mereka terjadi pada 70 persen anak-anak yang mengalami penyakit-penyakit akibat
depresi. Faktor utama penyakit akibat depresi adalah kehilangan orang tua,
ketidakharmonisan dengan orang tua, dan perceraian. Anak-anak nampaknya tidak
dapat melakukan penyesuaian dengan baik pada perubahan yang terjadi dalam
lingkungan mereka, seperti perceraian atau pasangan baru dari kedua orang tua
mereka. Faktor yang sangat penting dalam perkembangan anak-anak nampaknya
berkaitan dengan kualitas ikatan emosi antara anak dan orang tua dan bagaimana
hal itu mempengaruhi perkembangan kegelisahan dan depresi. "Tekanan kronis
seperti hubungan yang bermasalah, kurang persahabatan dan kasih sayang ...
dapat menimbulkan depresi." (Peter : 2010) http://erabaru.net/kesehatan/34-kesehatan/9280-depresi-pada-anak.
ILUSTRASI KASUS DAN PENANGANAN
A.
Kasus
Nama :
Cristianus soa (13thn)
Sekolah :
SDN Banyu Urip 6 Surabaya
Cara bunuh diri :
Gantung diri memakai tambang pramuka
Faktor Penyebab :
Takut ditinggal oleh Ayahnya (Kemiskinan)
Latar Belakang, Ibunya meninggal sebulan yang lalu sebelum Imon gantung
diri, prestasi Imon biasa saja di sekolah, baik dan supel. Sehari sebelum Imon
gantung diri, Imon terlihat sangat pendiam dan tidak banyak berinteraksi dengan
teman-temannya (Rikul). Ayahnya pengangguran dan pernah bekerja sebagai
Cleaning Service, malam sebelum Imon bunuh diri Ayahnya Nong Soa mengatakan
'kalau bapak mati, kamu iku siapa, mon?,"
Nama :
Aman Muhammad Soleh (kelas 6 SD)
Sekolah : SD Karangasih 4
Cikarang Bekasi
Cara bunuh diri :
Meminum Racun tikus
Faktor Penyebab :
Malu karena tidak dapat membayar SPP dan Putus asa karena tidak menemukan ibu
kandungnya (Kemiskinan)
Latar belakang, Tinggal bersama orangtua
angkatnya, merasa diabaikan ketika aman meminta uang untuk membayar Spp nya,
maka aman berusaha mencari ibu kandungnya yang dia ketahui masih hidup, namun
dia tidak menemukan ibu kandungnya, sehingga aman memutuskan untuk bunuh diri,
ketika kasus bunuh dirinya diketahui media, banyak yang ingin mengasuh aman,
aman memilih ikut keluarga Edi.
Nama :
Teguh (11 thn)
Sekolah :
SDN Pupus 02 kec Lembeyan, Magetan
Cara Bunuh Diri :
Menjerat lehernya dengan tali tampat biru pada blandar atau kayu penopang atap
Faktor Penyebab :
Tidak tahan menahan kesakitan karena kelaparan
Latar Belakang, Teguh
tinggal bersama Mbah Ginah, 76, neneknya yang buta, Anak itu mudah bergaul
dengan teman sebayanya dan tergolong cerdas. Hanya, dia sering tiba-tiba
terdiam,” kata Sukarni, 35, tetangga Mbah Ginah. Suwarno ayahnya harus
berangkat ke sawah sebagai buruh tani usai subuh dan kembali ke rumah menjelang
senja. Ibu Teguh, Supartinah, 38, telah pergi merantau ke Sumatera sejak Teguh
masih kecil. Hingga kini Supartinah tidak pernah kembali
Nama :
EA (8 thn)
Alamat :
Kompleks Moderen Land, Jl Ujung Menteng, Cakung,
Jakarta Timur,
Tanggal bunuh diri : Sabtu (18/12/2010)
Cara bunuh diri : Gantung diri dengan
selendang merah
Ditemukan bunuh diri
sebelum pembagian rapot
Nama : Agung
Faktor penyebab :
Sakit hati sambal dihabiskan adik dan ibu tidak mau membuatkannya lagi
B. Prediksi
Penanganan Kuratif
Cara untuk mengajarkan
berpikir realistis dan optimistis pada anak adalah membekalinya dengan
kecerdasan emosional sejak dini. Supaya anak tidak memiliki masalah perilaku di
usia dewasanya.
Penelitian Carroll Izard,
Ph.D. dari University of Delaware di Newark (Mela : 2011) http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/16/depresi-pada-anak/, menunjukkan, anak-anak yang sulit memahami perasaan-perasaan mereka dan
orang lain, akan rentan terhadap masalah-masalah perilaku dan pembelajaran di
usia lebih besar. Cara yang mudah untuk mengajarkan kecerdasan emosional
diantaranya dengan:
Kartu emosi. Kartu
buatan sendiri dengan gambar yang menunjukkan ekspresi wajah yang berbeda-beda
yang bisa membantu anak mengenali macam-macam perasaan seperti marah atau
kaget. Tanyakan pada anak Anda, kapan ia pernah merasakan hal yang sama.
Curahan hati. Anda
harus siap membuka diri bila anak ingin bercerita tentang apapun. Anda harus
mampu berempati terhadap masalahnya. misalnya dengan mengajukan pertanyaan“Ada yang nakal sama kamu?”, “Kok,
cemberut sih?”, dan lainnya. Bila kurang efektif,
pancing anak agar bercerita. Caranya, menceriterakan pengalaman masa kecil Anda
di sekolah, baik yang menyenangkan atau yang buruk. Mungkin hal itu akan
merangsang anak untuk bercerita.
Membaca dongeng atau buku
bersama. Cari buku-buku yang fokus pada berbagai jenis perasaan, misalnya Chicken Soup for Kid’s Soul. Pilihlah dongeng-dongeng yang memberikan pesan moral. Dari kisah-kisah
itu anak akan mengetahui bahwa ada banyak orang yang juga mengalami masalah di
sekolah atau di rumah. Selain itu, taburilah mereka dengan pesan-pesan moral
dan nasihat menjalani hidup untuk meningkatkan kecerdasan moralnya.
Bermain peran atau drama. Latihan
memainkan kejadian-kejadian emosional bersama anak. Misalnya, berpura-pura
sakit, mendapat nilai ujian yang jelek, atau lainnya. Libatkan pula saudara dan
teman-temannya. Mungkin saja, latihan ini bisa berguna bila anak harus
mengikuti pentas drama di sekolah atau saat acara 17 Agustusan di perumahan.
Libatkan anak dengan
kegiatan olahraga atau Organisasi. Anak akan belajar bagai-mana bekerja sama dengan
orang lain dan belajar bagai-mana memahami sikap teman-teman yang berbeda
dengan dirinya. Bila memungkinkan, ajak mereka berkemah, ke gunung, hutan, atau
pantai untuk melihat matahari terbit dan terbenam. Hal ini juga erat
hubungannya untuk meningkatkan kecerdasan spiritual anak. Masjid, gereja, pura,
candi dapat Anda manfaatkan untuk hal ini.
Puji dan motivasilah anak. Bila
anak mendapat nilai jelek, beri motivasi bahwa ia masih bisa mencapai nilai
yang lebih baik besok atau ujian berikutnya. Anda pun jangan marah bila ia
mendapat nilai buruk. Coba renungi apa yang salah, mungkin saja anak sedang
stres atau sakit. Pujilah, asal jangan berlebihan bila berhasil mencapai
prestasi. Anak harus belajar bahwa dirinya memiliki kelebihan dan kekurangan.
Jadi, tidak mungkin ia bisa pandai di semua pelajaran. Anak yang perfeksionis
cenderung menjadi depresi dibandingkan dengan anak lain. Beri tahu pula mereka
agar jangan takut berbuat salah. Karena pengalaman juga merupakan pelajaran
berharga untuk menghadapi hidup.
“Makanan” bekal melawan
stres. Perbanyak sayur dan buah dalam menu makanan anak. Kalau perlu, senantiasa
suplai mereka dengan vitamin dan mineral penting untuk tubuh. Terutama vitamin
C yang mujarab untuk menghalau stres dan vitamin B kompleks untuk meningkatkan
kerja otak.
Metode belajar efektif. Sebaiknya,
ajari anak metode belajar yang efektif
sejak kecil. Bisa belajar dalam waktu singkat tetapi mampu menyerap pelajaran
dengan lebih baik. Biasanya, pada anak akan diajarkan cara menghapal dengan
lebih mudah, membaca lebih cepat, peta pikiran, dan kreativitas.
Selain
dengan mengembangkan kecerdasan emosional pada siswa peneliti dari University of Auckland
dan University of Otago mengembangkan sebuah game fantasi interaktif yang
dinamakan Sparx. Game tersebut dibuat berbentuk 3D untuk membantu anak
mengatasi depresi. (Andi : 2012) http://andinewsonline.blogspot.com/2012/04/game-fantasi-bantu-atasi-masalah.html. Dalam game ini,
pemain bebas memilih avatar yang mereka inginkan. Mereka kemudian ditantang
untuk menjalani berbagai quest yang diberikan, dimana tujuan utamanya adalah
untuk mengembalikan keseimbangan dunia virtual yang dirusak oleh bangsa 'Gnats'
(Gloomy Negative Automatic Thoughts). Dan dari hasil yang didapat, para
peneliti menemukan bahwa game yang bersifat menolong diri sendiri itu, memiliki
keuntungan yang sama besar dengan terapi psikis pada umumnya. Setidaknya,
dengan bermain game itu, perasaan depresi, stres hingga galau, dapat berkurang
hingga sepertiganya.
Berkaca
dari pendapat beberapa ahli dalam hal menangani depresi pada anak, maka
beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh konselor adalah
1.
Terlebih dahulu
mengidentifikasi gejala-gejala depresi yang ditimbulkan oleh siswa baik itu
siswa yang beresiko bunuh diri maupun siswa yang pernah mencoba bunuh diri
2.
Mengenalkan perasaan
yang sedang dirasakan siswa melalui permainan kartu emosi, siswa diajak untuk
mengenali jenis emosinya dari gambar-gambar yang ada pada kartu tersebut
3.
Siswa di beri stimulus
untuk dapat menceritakan apa yang dialaminya dan apa yang dirasakannya melalui
pertanyaan-pertanyaan.
4.
Mulailah melakukan penanganan
dengan membaca dongeng atau cerita bersama dan memasukan nilai-nilai moral
kemudian mengajak anak untuk bermain peran agar dia mampu untuk merasakan apa
yang dialaminya.
5.
Konselor
mengkondisikan anak agar mengikuti kegiatan aktif-produktif di luar pelajaran
sekolah yang sesuai dengan bakat dan minatnya.
6.
Sikap konselor sangat
penting dalam hal ini, memberikan pujian atas kemajuan yang siswa capai
meskipun kemajuannya relatif sedikit pujian tersebut akan membangkitkan
motivasi siswa dan membuat siswa merasa berharga.
7.
Mengajarkan metode
belajar efektif
8.
Konselor bekerjasama
dengan orangtua dalam membantu program penanganan depresi ini, misalnya
orangtua membantu mengawasi aktifitas anak diluar sekolah, orangtua menyediakan
bekal makanan yang bergizi untuk daya tahan tubuh anak.
9.
Mengajukan kepada
orangtua aktifitas game Sparx agar anak relax melalui pengawasan orangtua.
10. Konselor melakukan refferal kepada psikolog atau psikiater
ketika tingkat depresi anak meningkat drastis dan sudah tidak dapat ditangani lagi
oleh konselor.
C.
Prediksi Penanganan Preventif
Diadaptasi
dari Sciarra (2004
: 264-267)
dalam bukunya School Counselor hal
yang dapat dilakukan konselor sekolah dalam upaya pencegahan bunuh diri
diantaranya:
1.
Bekerjasama Dengan Guru
Guru bisa menjadi yang pertama mengenali perubahan perilaku
yang menunjukkan seorang siswa beresiko untuk bunuh diri. Tanggung jawab pertama guru ketika mengetahui ada siswa yang
beresiko bunuh diri adalah segera merujuk siswa tersebut ke konselor sekolah. Konselor
juga mengadakan pelatihan atau konsultasi dengan para guru bahwa faktor kunci
dalam pencegahan bunuh diri di kalangan siswa adalah peran guru dalam mengembangkan
hubungan positif dengan siswa, diantaranya:
a.
Mendengarkan dengan empati
kepada siswa.
b.
Penguatan positive untuk
semua siswa secara teratur
c.
Membantu siswa
belajar lebih baik dalam mengatasi dan untuk keterampilan membuat keputusan.
d.
Memberikan informasi
tentang bunuh diri
e.
Menerima siswa siapapun
mereka
f.
Mengenali pentingnya
masalah siswa (Popenhagen & Qualley, 1998 dalam Sciarra 2004).
2.
Bekerjasama dengan Orang Tua
Konselor sekolah tentunya
sensitif terhadap pembicaraan tentang bunuh diri kemudian mendorong orang tua
bicara tentang hal itu juga. Alat terbaik yang digunakan yaitu memberikan
informasi yang akurat mengenani bunuh diri. Cara lain untuk
melibatkan orang tua adalah untuk memberitahu mereka tentang faktor risiko dan
tanda-tanda peringatan bunuh diri baik melalui famplet atau konsultasi.
Ketika orangtua menyadari anak mereka atau anak lain besiko
bunuh diri maka mereka harus menginformasikan konselor sekolah,
3. Bekerjasama dengan Teman Sebaya
Konselor sekolah harus meyakinkan siswa bahwa dengan menjaga
rahasia tentang pikiran temannya untuk bunuh diri berarti mereka membiarkan
temannya dalam bahaya. Salah satu strategi yang efektif adalah membiarkan siswa
membayangkan bahwa ketika teman mereka melakukan bunuh diri kemudian mereka
tidak melakukan apa pun untuk mencoba mencegahnya, ini akan menimbulkan rasa
bersalah yang tak tertahankan.
4. Bekerjasama dengan Tokoh Masyarakat
Selain bekerja sama dengan guru, orangtua, dan siswa untuk
membantu mereka mengenali tanda-tanda peringatan bunuh diri, konselor sekolah
juga dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk mendukung program pencegahan di sekolah. Jika konselor
menemukan sedikitnya dukungan dari masyarakat tentang kesadaran pencegahan
bunuh diri, ia dapat memperluas upaya pencegahan sekolah untuk melibatkan, tokoh
agama, dan penegak hukum dalam masyarakat.
Selain itu
konselor dapat memiliki waktu untuk melakukan pendekatan bimbingan kelompok
dengan teknik permainan karena anak usia Sekolah Dasar perlu untuk
mengekpresikan aktifitas motorik yang sedang berkembang pesat. Misalnya melalui
permainan engklek, petak umpet, galah sodor dll dengan memasukan nilai-nilai
moral. Konselor seyogianya membuat anak memiliki kegiatan yang
positif-produktif dengan melibatkan teman sebaya seperti membuat sanggar
kesenian, olahraga, sains dll.
Selain
itu guru Bimbingan dan Konseling dapat bekerjasama dengan beberapa ahli yang
berhubungan dengan masalah siswa seperti mendatangkan seorang psikolog, ahli
agama, ahli kesehatan, olahraga, keterampilan, dan lain-lain. Hal ini ditujukan
agar siswa mendapatkan informasi yang lebih komprehensif dan mudah dipahami
sehingga dengan penyampaian materi tersebut siswa memiliki keterampilan dalam
memecahkan masalah serta tidak memiliki keinginan untuk melakukan bunuh diri
Prediksi
penanganan anak beresiko bunuh diri pada siswa Sekolah Dasar yang meliputi
pendekatan kuratif dan preventif dapat menjadi rujukan bagi pembaca khusunya
konselor sekolah dalam menyikapi fenomena bunuh diri di kalangan siswa Sekolah
Dasar, meskipun belum dilakukan praktek secara nyata akan tetapi pendekatan ini
didasarkan pada analisis perkembangan siswa Sekolah Dasar dan penanganan-penangan
yang pernah dilakukan oleh ahli terhadap kecenderungan anak yang beresiko bunuh
diri sehingga pendekatan ini tepat dan relevan sebagai bahan rujukan/referensi
bagi konselor sekolah.
Penanganan
kuratif lebih menekankan kepada pengembangan kecerdasan emosi siswa karena cara untuk mengajarkan berpikir realistis dan optimistis pada anak adalah
membekalinya dengan kecerdasan emosional sedangkan penanganan preventif lebih
menekankan kepada kerjasama konselor dengan berbagai pihak.
Melalui
optimalisasi peran konselor sekolah dalam menangani hal ini diharapkan angka
bunuh diri pada anak usia Sekolah Dasar dapat berangsur menurun sehingga
generasi penerus bangsa ini memiliki kesempatan yang sama untuk meraih prestasi
seoptimal mungkin.
0 comments:
Post a Comment