Analisis Butir Soal
merupakan proses pengumpulan, peringkasan, dam penggunaan informasi dari
jawaban siswa untuk membuat keputusan tentang setiap penilaian. Nitko (Purnomo
: 2010) Kegiatan ini bertujuan untuk membantu meningkatkan tes melalui revisi
atau membuang soal yang tidak efektif, serta untuk mengatahui secara diagnostik
pada siswa apakah soal mereka sudah/belum memahami materi yang telah diajarkan
Aiken (Purnomo : 2010) tujuan utama analisis butir soal dalam sebuah tes adalah
untuk mengidentifikasi kekurangan-kekurangan dalam tes atau dalam pembelajaran (Purnomo
: 2010)
Secara garis besar instrument penelitian dibagi menjadi dua yaitu tes
dan non-tes, dalam menganalisi butir soal ini artinya yang akan dianalisis
disini adalah tes, tes tersebut yaitu IST (Intellegence Structure Test) dari no
1 sampai no 20, tipe tes ini adalah tes objektif multiple choice (pilihan ganda), dalam pemeriksaan tes tipe
objektif tidak ada factor lain yang mempengaruhi proses pemeriksaan dan hasil
akhir berupa skor yang akan diperoleh testi. Analisis
soal dilakukan untuk mengetahui berfungsi tidaknya sebuah soal. Analisis pada
umumnya dilakukan melalui dua cara, yaitu analisis kualitatif (qualitative control) dan analisis kuantitatif (quantitative control). Analisis kualitatif sering pula
dinamakan sebagai validitas logis (logical validity)
yang dilakukan sebelum soal digunakan. Gunanya untuk melihat berfungsi tidaknya
sebuah soal. Analisis soal secara kuantitatif sering pula dinamakan sebagai
validitas empiris (empirical validity) yang dilakukan
untuk melihat lebih berfungsi tidaknya sebuah soal setelah soal itu
diujicobakan kepada sampel yang representatif.
Salah satu
tujuan dilakukannya analisis adalah untuk meningkatkan kualitas soal, yaitu
apakah suatu soal (1) dapat diterima karena telah didukung oleh data statistic
yang memadai, (2) diperbaiki, karena terbukti terdapat beberapa kelemahan, atau
bahkan (3) tidak digunakan sama sekali karena terbukti secara empiris tidak
berfungsi sama sekali.
Analisis Kualitatif. Yaitu berupa
penelaahan yang dimaksudkan untuk menganalisis soal ditinjau dari segi teknis,
isi, dan editorial. Analisis secara teknis dimaksudkan sebagai penelaahan soal
berdasarkan prinsip-prinsip pengukuran dan format penulisan soal. Analisis
secara isi dimaksudkan sebagai penelaahan khusus yang berkaitan dengan
kelayakan pengetahuan yang ditanyakan. Analisis secara editorial dimaksudkan
sebagai penelaahan yang khususnya berkaitan dengan keseluruhan format dan
keajegan editorial dari soal yang satu ke soal yang lainnya.
Analisis kualitatif lainnya dapat juga
dikategorikan dari segi materi, konstruksi, dan bahasa. Analisis materi dimaksudkan
sebagai penelaahan yang berkaitan dengan substansi keilmuan yang ditanyakan
dalam soal serta tingkat kemampuan yang sesuai dengan soal. Analisis konstruksi
dimaksudkan sebagai penelaahan yang umumnya berkaitan dengan teknik penulisan
soal. Analisis bahasa dimaksudkan sebagai penelaahan soal yang berkaitan dengan
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut EYD.
Analisis Kuantitatif. Digunakan
untuk mengetahui sejauh mana soal dapat membedakan antara peserta tes yang
kemampuannya tinggi dalam hal yang didefinisikan oleh kriteria dengan peserta
tes yang kemampuannya rendah (melalui analisis statistik).
Analisis soal
secara kuantitatif menekankan pada analisis karakteristik internal tes melalui
data yang diperoleh secara empiris. Karakteristik internal secara kuantitatif
dimaksudkan meliputi parameter soal tingkat kesukaran, daya pembeda, dan
reliabilitas. Khusus soal-soal pilihan ganda, dua tambahan parameter yaitu
dilihat dari peluang untuk menebak atau menjawab soal dengan benar dan berfungsi
tidaknya pilihan jawaban, yaitu penyebaran semua alternatif jawaban dari
subyek-subyek yang dites.
A.
Reliabilitas
Reliabilaitas adalah tingkat ketetapan suatu
instrumen mengukur apa yang harus diukur atau konsistensi dari serangkaian
pengukuran atau serangkaian alat ukur. Hal tersebut bisa
berupa pengukuran dari alat ukur yang sama (tes dengan tes ulang) akan memberikan
hasil yang sama, atau untuk pengukuran yang lebih subjektif, apakah dua orang penilai
memberikan skor yang mirip
(reliabilitas antar penilai). Ada tiga cara
pelaksanaan untuk menguji reliabilitas suatu tes, yaitu: (1) tes tunggal
(single test), (2) tes ulang (test retest), dan (3) tes ekuivalen (alternate
test). Namun uji reliabilitas disini adalah untuk memprediksi skor yang diperoleh pada tes selanjutnya berdasarkan tes yang
sebelumnya telah dilakukan,
untuk memprediksi hal ini dihitung menggunakan rumus Standar Error of
Measurement (SEM).
Standar Error of Measurement (SEM) adalah sebuah perkiraan kesalahan untuk digunakan dalam menafsirkan skor tes individu, dengan menggunakan koefisien
reliabilitas dan standar deviasi tes, kita dapat menghitung nilai ini dengan rumus :
SEM = St
|
Setelah
diperoleh skor SEM, kemudian untuk menentukan perkiraan jumlah skor yang akan
diperoleh siswa pada tes selanjutnya yaitu dengan menghitung rata-rata skor
total (Mt) dikurangi SEM dan rata-rata skor total (Mt) ditambah SEM (Mt-SEMà
Mt+SEM)
untuk nilai pada sampel dengan error berdistribusi
normal bias, di atas menggambarkan proporsi sampel yang akan jatuh antara 0, 1,
2, dan 3 standar deviasi di atas dan di bawah nilai sebenarnya.
B. Validitas
Validitas suatu instrumen menunjukkan tingkat
ketepatan suatu instrument untuk mengukur apa yang harus diukur. Jadi validitas
suatu instrumen berhubungan dengan
tingkat akurasi dari suatu alat ukur mengukur apa yang akan diukur. Validitas ada 2 macam, yaitu validitas logis dan
validitas empiris. Validitas logis adalah validitas diperoleh atas dasar hasil
pemikiran berfikir logis melalui proses penganalisaan secara rasional dengan
tepat mengukur apa yang seharusnya diukur. Sudijono: (Khotib : 2011). Sedangkan menurut Arikunto (Khotib : 2011). Validitas logis sebuah instrumen menunjuk kepada kondisi bagi sebuah
instrumen yang memenuhi persyaratan valid berdasarkan hasil penalaran.
1.
Validitas Logis.
Validitas
logis terdiri dari dua macam, yaitu validitas isi (content validity) dan
Validitas Konstrak (Construct Validity). Validitas isi dari suatu tes
hasil belajar adalah validitas yang diperoleh setelah dilakukan penganalisaan,
penelusuran atau pengujian terhadap isi yang terkandung dalam tes hasil belajar
tersebut. Sukardi (2008: 32) validitas isi adalah derajat dimana sebuah tes
evaluasi mengukur cakupan substansi yang ingin diukur. Sedangkan Validitas
konstrak adalah soal yang dibuat dapat mengukur setiap aspek berfikir yang ada
pada standar isi atau pemetaan standar isi dengan merinci atau memasangkan
setiap butir soal dengan setiap aspek pada standar isi.
2.
Validitas Empiris
Menurut
Arikunto (2009: 66) validitas empiris adalah validitas yang diperoleh
berdasarkan pengalaman dengan cara diujikan. Sedangkan menurut Sudijono (2008:
167) validitas empiris adalah ketepatan mengukur yang didasarkan pada hasil
analisis yang bersifat empirik.
Ada empat macam validitas empiris, diantaranya: validitas butir, validitas keseluruhan, validitas, validitas ada sekarang dan validitas prediktif.
Ada empat macam validitas empiris, diantaranya: validitas butir, validitas keseluruhan, validitas, validitas ada sekarang dan validitas prediktif.
3.
Validitas Butir
Sebuah butir
memiliki validitas tinggi jika skor butir memiliki kesejajaran dengan skor
total artinya memiliki korelasi yang baik (Arikunto, 2009: 76). Validitas ini
ditentukan dengan membandingkan antara skor butir dengan skor total. untuk
menghitung validitas butir digunakan rumus product moment dan koefisien
korelasi biserial (γ_pbi).
Keterangan:
r_xy = Koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y. dua variabel yang dikorelasikan (x=X-X ̅ dan y=Y-Y ̅)
r_xy = Koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y. dua variabel yang dikorelasikan (x=X-X ̅ dan y=Y-Y ̅)
∑xy = Jumlah perkalian x dan y
x2 = kuadrat dari x
y2 = kuadrat dari y
Keterangan:
rxy = Koefisien korelasi
rxy = Koefisien korelasi
∑X = Jumlah skor butir
∑Y = Jumlah skor total
N = Jumlah sampel
Keterangan:
γ_pbi = koefisien korelasi biserial
γ_pbi = koefisien korelasi biserial
M_p = rerata skor dari subjek yang menjawab betul bagi butir yang dicari
validitasnya
M_t = rerata skor total
S_t = standar deviasi dari skor total
p = proporsi peserta didik yang menjawab benar
q = proporsi peserta didik yang menjawab salah (q=1-p)
Perhitungan validitas butir dilakukan dengan
membandingkan skor butir dengan skor total menggunakan ketiga rumus di atas.
C. Daya Pembeda (DP)
Daya pembeda
soal adalah kemampuan suatu butir soal dapat membedakan antara siswa yang telah
menguasai materi yang ditanyakan dan warga siswa yang tidak/kurang/belum
menguasai materi yang ditanyakan (Burhandin : 2011) http://hilmanburhanudin.blogspot.com/2011/04/rumus-daya-pembeda-dan-tingkat.html. Manfaat daya
pembeda butir soal adalah seperti berikut ini :
1.
Untuk meningkatkan mutu setiap butir soal melalui data
empiriknya. Berdasarkan indeks daya pembeda, setiap butir soal dapat diketahui
apakah butir soal itu baik, direvisi, atau ditolak.
2.
Untuk mengetahui seberapa jauh setiap butir soal dapat
mendeteksi/membedakan kemampuan siswa, yaitu siswa yang telah memahami atau
belum memahami materi yang diajarkan guru. Apabila suatu butir soal tidak dapat
membedakan kedua kemampuan siswa itu, maka butir soal itu dapat dicurigai
"kemungkinannya" seperti berikut ini.
a. Kunci jawaban
butir soal itu tidak tepat.
b. Butir soal itu
memiliki 2 atau lebih kunci jawaban yang benar
c. Kompetensi yang
diukur tidak jelas
d. Pengecoh tidak
berfungsi
e. Materi yang
ditanyakan terlalu sulit, schingga banyak siswa yang menebak
f. Sebagian besar
siswa yang memahami materi yang ditanyakan berpikir ada yang salah informasi
dalam butir soalnya
Indeks daya pembeda setiap butir soal biasanya juga
dinyatakan dalam bentuk proporsi. Semakin tinggi indeks daya pembeda soal
berarti semakin mampu soal yang bersangkutan membedakan siswa yang telah
memahami materi dengan siswa yang belum memahami materi. Indeks daya pembeda
berkisar antara -1,00 sampai dengan +1,00. Semakin tinggi daya pembeda suatu
soal, maka semakin kuat/baik soal itu. Jika daya pembeda negatif (<0)
berarti lebih banyak kelompok bawah (siswa yang tidak
memahami materi) menjawab benar soal dibanding dengan kelompok atas (siswa
yang
memahami materi yang diajarkan guru).
Untuk
mengetahui daya pembeda soal bentuk pilihan ganda adalah dengan menggunakan
rumus berikut ini.
DPP == daya pembeda
soal,
BA = jumlah jawaban benar pada kelompok atas,
BB = jumlah jawaban benar pada kelompok bawah,
N =jumlah siswa yang mengerjakan tes.
Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas
dapat menggambarkan tingkat kemampuan soal dalam membedakan antar peserta didik
yang sudah memahami materi yang diujikan dengan peserta didik yang belum/tidak
memahami materi yang diujikan. Adapun klasifikasinya adalah seperti berikut ini
(Crocker dan Algina, 1986: 315).
0,40 - 1,00 soal diterima baik
0,30 - 0,39 soal diterima tetapi perlu diperbaiki
0,20 - 0,29 soal diperbaiki
Untuk
mengetahui keberartian daya pembeda soal dilakukan dengan statistik uji-t,
dengan persamaan berikut.
(Subino dalam sunardi, 2003:
27)
dengan t
merupakan Indeks Daya Pembeda (DP) antara kemampuan kelompok atas dengan kemampuan kelompok bawah, Xa merupakan skor rata-rata tiap item tes kelompok atas,
Xb adalah skor rata-rata tiap item tes kelompok
bawah, Sa adalah standar deviasi tiap item tes kelompok
atas, Sb
merupakan standar deviasi tiap
item tes kelompok bawah, Na adalah
jumlah siswa kelompok atas, dan
Nb adalah jumlah siswa kelompok
bawah. Harga thitung yang dihasilkan dibandingkan dengan
dengan harga t tabel dengan dk = (Na –1)+(Nb
– 1) pada taraf kepercayaan 95%. Jika thitung > t tabel maka daya
pembeda untuk soal tersebut adalah signifikan.
|
(Karno To, 1996:15)
∑ Bu = jumlah
yang benar pada kelompok Unggul
∑ BA = jumlah
yang benar pada kelompok Asor
Nu = Jumlah
total pada kelompok Unggul
NA = Jumlah
total pada kelompok Asor
Langkah pertama yaitu menentukan siswa yang tergolong dalam kelompok
Unggul dan siswa yang tergolong dalam kelompok Asor dengan menngunkan perkiraan
27 % - 33 % dari jumlah total siswa
Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas
dapat menggambarkan tingkat kemampuan soal dalam membedakan antar peserta didik
yang sudah memahami materi yang diujikan dengan peserta didik yang belum/tidak
memahami materi yang diujikan. Adapun criteria tiap soal
adalah sebagai berikut :
Negative – 9% =
sangat buruk (dibuang)
10% - 19% = buruk (sebaiknya dibuang)
20% - 29% =
agak baik (revisi)
30% - 49% =
baik
50% keatas =
sangat baik
Disamping rumus
tersebut, untuk mengetahui daya pembeda soal bentuk pilihan ganda dapat
dipergunakan rumus korelasi point biseral ( r pbis) dan korelasi biseral (r
bis), sebagai berikut :
Keterangan:
γ_pbi = koefisien korelasi biserial
γ_pbi = koefisien korelasi biserial
M_p = rerata skor dari subjek yang menjawab betul bagi butir yang dicari
validitasnya
M_t = rerata skor total
S_t = standar deviasi dari skor total
p = proporsi peserta didik yang menjawab benar
q = proporsi peserta didik yang menjawab salah (q=1-p)
Melalui rumus ini dapat diperoleh dua pembeda antara soal yang memiliki
validitas butir soal yang signifikan dan validitas butir soal yang tidak
signifikan, signifikan atau tidanya sebuah soal dapat diperoleh dari menghitung
t hitung dan t tabel, suatu soal dikatakan signifikan jika t hitung lebih besar dari t tabel (t
hitung >
t tabel)
t hitung disini adalah tingkat kebaikan soal (r pbis) dan t tabel
diperoleh dari tabel D. Significant Vaces of
r, R and t, dengan dk = n-2, n adalah jumlah siswa yang menjawab benar pada suatu
soal.
D.
Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran soal adalah peluang untuk menjawab benar
suatu soal pada tingkat kemampuan tertentu yang biasanya dinyatakan dalam
bentuk indeks. Indeks
tingkat kesukaran ini pada umumnya dinyatakan dalam bentuk proporsi yang
besarnya berkisar 0,00 - 1,00 (Aiken (1994: 66). Semakin besar indeks tingkat
kesukaran yang diperoleh dari hasil hitungan, berarti semakin mudah soal itu.
Suatu soal memiliki TK= 0,00 artinya bahwa tidak ada siswa yang menjawab benar
dan bila memiliki TK= 1,00 artinya bahwa siswa menjawab benar. Perhitungan
indeks tingkat kesukaran ini dilakukan untuk setiap nomor soal. Pada
prinsipnya, skor rata-rata yang diperoleh peserta didik pada butir soal yang
bersangkutan dinamakan tingkat kesukaran butir soal itu. Rumus ini
dipergunakan untuk soal obyektif. Rumusnya adalah seperti berikut ini Nitko, Mustikasari : 2008).
Fungsi tingkat kesukaran butir soal biasanya
dikaitkan dengan tujuan tes. Misalnya untuk keperluan ujian semester digunakan
butir soal yang memiliki tingkat kesukaran sedang, untuk keperluan seleksi
digunakan butir soal yang memiliki tingkat kesukaran tinggi/sukar, dan untuk
keperluan diagnostik biasanya digunakan butir soal yang memiliki tingkat
kesukaran rendah/mudah.
Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas menggambarkan tingkat
kesukaran soal itu. Klasifikasi tingkat kesukaran soal dapat dicontohkan
seperti berikut ini. Arikunto (Mustikasari: 2008)
0,00 - 0,30 soal tergolong sukar
0,31 - 0,70 soal tergolong sedang
0,71 - 1,00 soal tergolong mudah
Tingkat kesukaran butir soal dapat mempengaruhi
bentuk distribusi total skor tes. Untuk tes yang sangat sukar (TK= < 0,25)
distribusinya berbentuk positif skewed, sedangkan tes yang mudah dengan TK=
>0,80) distribusinya berbentuk negatif skewed.
Tingkat kesukaran butir soal memiliki 2 kegunaan,
yaitu kegunaan bagi guru dan kegunaan bagi pengujian dan pengajaran.
Kegunaannya bagi guru adalah: (1) sebagai pengenalan konsep terhadap
pembelajaran ulang dan memberi masukan kepada siswa tentang hasil belajar
mereka, (2) memperoleh informasi tentang penekanan kurikulum atau mencurigai
terhadap butir soal yang bias. Adapun kegunaannya bagi pengujian dan pengajaran
adalah: (a) pengenalan konsep yang diperlukan untuk diajarkan ulang, (b)
tanda-tanda terhadap kelebihan dan kelemahan pada kurikulum sekolah, (c)
memberi masukan kepada siswa, (d) tanda-tanda kemungkinan adanya butir soal
yang bias, (e) merakit tes yang memiliki ketepatan data soal.
Di samping kedua kegunaan di atas, dalam konstruksi
tes, tingkat kesukaran butir soal sangat penting karena tingkat kesukaran butir
dapat: (1) mempengaruhi karakteristik distribusi skor (mempengaruhi bentuk dan
penyebaran skor tes atau jumlah soal dan korelasi antarsoal), (2) berhubungan
dengan reliabilitas. Menurut koefisien alfa clan KR-20, semakin tinggi korelasi
antar soal, semakin tinggi reliabilitas.
Tingkat kesukaran butir soal juga dapat digunakan
untuk mempredikst alat ukur itu sendiri (soal) dan kemampuan peserta didik
dalam memahami materi yang diajarkan guru. Misalnya satu butir soal termasuk
kategori mudah, maka prediksi terhadap informasi ini adalah seperti berikut.
1.
Pengecoh butir soal itu tidak berfungsi.
2.
Sebagian besar siswa menjawab benar butir soal itu;
artinya bahwa sebagian besar siswa telah memahami materi yang ditanyakan.
Bila suatu butir soal termasuk kategori sukar, maka
prediksi terhadap informasi ini adalah seperti berikut.
1.
Butir soal itu "mungkin" salah kunci
jawaban.
2.
Butir soal itu mempunyai 2 atau lebih jawaban yang
benar.
3.
Materi yang ditanyakan belum diajarkan atau belum
tuntas pembelajarannya, sehingga kompetensi minimum yang harus dikuasai siswa
belum tercapai.
4.
Materi yang diukur tidak cocok ditanyakan dengan
menggunakan bentuk soal yang diberikan (misalnya meringkas cerita atau
mengarang ditanyakan dalam bentuk pilihan ganda).
5. Pernyataan
atau kalimat soal terlalu kompleks dan panjang.
Namun, analisis
secara klasik ini memang memiliki keterbatasan, yaitu bahwa tingkat kesukaran
sangat sulit untuk mengestimasi secara tepat karena estimasi tingkat kesukaran
dibiaskan oleh sampel (Haladyna, 1994: 145). Jika sampel berkemampuan tinggi,
maka soal akan sangat mudah (TK= >0,90). Jika sampel berkemampuan rendah,
maka soal akan sangat sulit (TK = < 0,40). Oleh karena itu memang merupakan
kelebihan analisis secara IRT, karena 1RT dapat mengestimasi tingkat kesukaran
soal tanpa menentukan siapa peserta tesnya (invariance). Dalam IRT, komposisi
sampel dapat mengestimasi parameter dan tingkat kesukaran soal tanpa bias
Rumus lain yang digunakan untuk menentukan
tingkat kesukaran soal uraian sama dengan soal pilihan ganda yaitu :
,
Langkah pertama yaitu menentukan siswa yang tergolong
dalam kelompok Unggul dan siswa yang tergolong dalam kelompok Asor dengan
menngunkan perkiraan 27 % - 33 % dari jumlah total siswa. Langkah kedua yaitu mencari ∑ Bu dan ∑ BA. Langkah ketiga setelah indeks tingkat kesukaran diperoleh, maka harga indeks kesukaran tersebut
diinterpretasikan pada kriteria sesuai tabel
berikut:
0 – 15 % Sangat sukar,
sebaiknya dibuang
16 % – 30 % Sukar
31 % – 70 % Sedang
71 % – 85 % Mudah
86 % – 100 % Sangat
mudah, sebaiknya di buang
http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._FISIKA/IKA_MUSTIKA_SARI/EVALUASI_PENDIDIKAN/BAHAN_AJAR_(MINGGU_KE_13)_ANALISIS_INSTRUMEN_(TK-DP-ANALISIS_PENGECOH).pdf (Karno To, 1996:15)
E. Anlisis
Pengecoh (Distraktor)
Menganalisis fungsi pengecoh (distractor) dikenal dengan istilah
menganalisis pola penyebaran jawaban butir soal pada soal bentuk pilihan ganda.
Pola tersebut diperoleh dengan menghitung banyaknya testee yang memilih pilihan
jawaban butir soal atau yang tidak memilih pilihan manapun (blangko). Dari pola
penyebaran jawaban butir soal dapat ditentukan
apakah pengecoh berfungsi dengan baik atau tidak. Suatu pengecoh dapat
dikatakan berfungsi dengan baik jika paling sedikit dipilih oleh 5 % pengikut
tes. Cara melakukan analisis pengecoh :
Pertimbangan terhadap
analisis pengecoh:
1. Diterima, karena sudah baik
2. Ditolak, karena tidak baik
3. Ditulis kembali, karena kurang baik
Sebuah pengecoh
dikatakan berfungsi baik jika paling sedikit dipilih
oleh 5% pengikut tes.
Indeks pengecoh
dihitung dengan rumus:
Dengan:
IPc = Indeks Pengecoh/Distraktor
nPc = Jumlah siswa
yang memilih pengecoh itu
N = Jumlah seluruh subyek yang ikut tes
nB = Jumlah Subyek yang menjawab benar pada
butir soal itu
Alt = Banyak alternatif
jawaban/option (3, 4, atau 5)
Menggunakan rumus ini diawali dengan menghitung satu
persatu soal hingga mendapatkan criteria pada tiap item pilihan jawaban di
setiap soal. Soal yang diuji berjumlah 20 dengan 5 pilihan jawaban (a, b, c, d,
dan e), yang harus diketahui terlebih dahulu adalah skor pada jawaban a, b, c,
d, dan e pada tiap soal melalui rumus Ipc sebagai acuan dalam mengelompokkan
criteria pengecoh tertentu.
Klasifikasi pengecoh berdasarkan Indeks
Pengecoh:
Sangat baik : IPc = 76% - 125% (mendekati 100%)
Baik : IPc = 51% - 75% atau 126% - 150%
Kurang baik : IPc = 26%
- 50% atau 151% - 175%
Buruk : IPc = 0% -
25% atau 176% - 200%
Sangat buruk : IPc = lebih dari
200%
Bila semua subyek menjawab benar pada butir
soal tertentu (semua sesuai kunci), maka IPc = 0, artinya buruk (semua pengecoh
tidak berfungsi). Yang ideal pengecoh dipilih secara merata, artinya semua
pengecoh secara merata ikut mengecoh siswa
3 comments:
Hai,,, artikelnya lengkap. terima kasih. Kunjung balik ya, newbie nih.
maaf,sy ijin copy.thanks.
silahkan semoga bermanfaat. sama sama
Post a Comment