Pages

 

Thursday, March 29, 2012

Teori Rasa Bersalah

0 comments

Rasa bersalah banyak didefinisikan sebagai perasaan berdosa, kejahatan, perlakuan yang salah dan gagal memenuhi syarat (Naramore 1981). Rasa bersalah datang ketika seseorang telah memahami mengenai mana benar dan salah.
Secara historis, rasa bersalah timbul ketika individu terlibat dalam tindakan melanggar hukum, seperti yang dikatakan Salzmann “Historically, the concept of guilt has involved an act transgressing or breaking a law.” (Salzmann,1983 dalam John Banmen 1988). Banmen mengemukakan juga bahwa dalam tradisi Yahudi-Kristen rasa bersalah didefinisikan sebagai hasil dari perbuatan dosa atau pelanggaran hukum Tuhan yang berfokus pada tindakan spesifik pelanggaran dalam hubungan antara manusia dan Tuhan (John Banmen, 1988: 79-91). 
Penekanan konsep rasa bersalah yang sebelumnya lebih terfokus pada pada tindakan pelanggaran, kini oleh psikolog rasa bersalah lebih berfokus pada perasaan terhadap diri sendiri ketika perilaku seseorang melanggar batasan perilaku moral. Pels 1951 (Banmen, 1988) menyebutkan defines guilt as a ‘self-punitive, vindictive attitude towards oneself’’. Definisi ini lebih menekankan kepada sikap terhadap diri sendiri.
Faktor penyebab rasa bersalah
Menurut Narramore individu mungkin merasa bersalah karena melakukan pelanggaran yang sebenarnya dari hukum Allah (Real guilt) atau ketidakmampuan menyesuaikan diri secara emosional (Pseudo Guilt)
Menurut Freud, rasa bersalah didasarkan pada internalisasi nilai-nilai dari orang tua dan masyarakat. Rasa bersalah dimulai ketika anak-anak takut hukuman dan kehilangan kasih sayang orang tua saat mereka melanggar norma sosial.
Menurut Sigmund Freud (Semiun, 2006: 67) perasaan bersalah terjadi apabila ego bertindak –atau bahkan bermaksud– untuk bertindak bertentangan bertentangan dengan norma-norma moral superego. Freud juga menyebutkan bahwa perasaan bersalah adalah fungsi suara hati yaitu hasil dari pengalaman dengan hukuman yang diberikan orang tua atas tingkah laku yang tidak tepat. Superego merupakan cita-cita dan nilai-nilai anak yang dipelajari dari orang tua dan kebudayaannya. Ketika ego merespon rangsangan dari id  yang melanggar superego, maka perasaan bersalah bisa terjadi, selain Freud, dalam kaitannya dengan rasa bersalah yang pengaruhnya berasal dari keluarga, Erikson menyatakan bahwa ada delapan tahap perkembangan psiko-sosial, menurut Erikson pada tahap ke tiga yaitu saat individu berusia 3-6 tahun sebagai masa umur bermain atau genital locomotor, pada masa ini anak mengalamai krisis psikososial yang disebut tahap Initiative versus Guilt yaitu anak belajar untuk berinisiatif tanpa terlalu banyak merasa bersalah, Lingkungan sosial utama yang berpengaruh terhadap perkembangan masa ini adalah lingkungan keluarga. Inisiatif maksudnya respon positif pada tantangan dunia, tanggung jawab, belajar keahlian baru dan merasa bermanfaat.
Orang tua mengharapkan inisiatif yang ditimbulkan anak adalah anak mampu mengeluarkan idenya, inisiatif adalah usaha untuk mengubah sesuatu menjadi kenyataan (Yusuf dan Juntika Nurihsan, 2008). Orang tua harus bertanggung jawab, mensosialisasikan dan mengharapkan anak tumbuh bukan menjadi bayi lagi, tapi jika proses ini terlalu kasar dan tiba-tiba, anak belajar merasa bersalah tentang perasaannya.
Jika dalam setiap tingkat perkembangan dapat diatur dengan baik, maka akan berpengaruh baik terhadap kekuatan psikososial, sebaliknya jika kita tidak bisa mengaturnya dengan baik maka akan tumbuh sikap maladaptif dan kekacauan yang akan membahayakan masa depan (Yusuf dan Juntika Nurihsan, 2008) ini berimplikasi bahwa jika pada usia bermain ini, lingkungan sosial terutama keluarga tidak memberikan kesempatan pada anak untuk bermain, jika anak tidak belajar untuk berinisiatif dan memiliki rasa bersalah, maka anak akan tumbuh perilaku maladaptif yang disebut ­inhibition.
            Rasa bersalah (guilty feeling) terbagi kedalam dua jenis, yaitu rasa bersalah yang benar dan rasa bersalah semu.
Rasa bersalah benar (Real Guilt):  Pada setiap orang biasanya melekat kecenderungan untuk berbuat dosa atau melanggar hukum Tuhan.

Perasaan telah berbuat jahat dan telah melakukan tindak kesalahan karena melanggar hukum Tuhan inilah yang biasanya disebut rasa bersalah yang benar,

Naramore (1981: 106) mengungkapkan real guilt adalah perasaan sebenarnya dari dosa dan rasa bersalah merupakan hasil dari pelanggaran hukum-hukum Allah dan penolakan untuk mengakui dosa-dosa ini. Orang yang merasa bersalah karena dihadapkan pada suatu kesalahan atau dosa, dia menderita ketegangan, kecemasan dan perasaan bersalah. Disadari atau tidak, setiap orang dalam dirinya pasti memiliki perasaan bersalah. Orang yang telah bertaubat pun juga mengalami perasaan dosa dan rasa bersalah yang realistis.

Narramore mengutip dari Alkitab, sebagai bagian dari keyakinan umat kristiani, “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh SATU ORANG, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.(Romans 5:12). Ketika dosa sangat berat atas jiwa baru yang belum lahir, adalah wajar ia merasa tekanan itu. Ketika perasaan bersalah ini membawa pada pertobatan dan penyerahan diri kepada Kristus, Allah mengampuni dosa dan tekanan rasa bersalah akan dihapus. Seperti kisah Adam dan Hawa yang melanggar perintah Tuhan karena telah memakan buah larangan. Di sini terlihat dosa yang dilakukan merupakan suatu kesalahan, begitu juga dengan setiap individu yang melakukan dosa atau kesalahan.
            Umat kristiani percaya mereka dapat dilahirkan kembali dalam hidup baru. Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang”. Maksud dari kutipan ini menurut umat kristiani adalah bahwa manusia yang berdosa dan tidak mengenal Allah setelah masuk dan percaya di dalam Kristus maka ia akan menjadi ciptaan baru, masuk ke dalam hidup baru. Mereka percaya setiap orang memiliki berhubungan langsung kepada Allah melalui Kristus yang akan mengampuni anak berdosa saat ia meminta pengampunan setiap hari.Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa  kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (Yohanes 1:8).
Umat kristiani menganggap bahwa Allah menginginkan kita mengakui perbuatan dosa kita dan memohon maaf kepada Allah, maka Allah akan senantiasa mengampuni dosa kita. Jika kita tidak mengakui dosa kita dan menyangkal perbuatan dosa kita maka Allah akan murka terhadap kita dengan perbuatan dosa kita, demikian menurut apa yang dituliskan Narramore.
            Rasa bersalah semu (Pseudo Guilt): terkadang rasa bersalah atau rasa berdosa yang muncul pada diri seseorang sering bukan merupakan pengalaman spritual malainkan hasil dari situasi emosional semata. Seseorang mungkin sudah berkomitmen hidupnya kepada Kristus tapi masih tidak bisa menyingkirkan perasaan bersalah. Sebagaimana Narramore berpendapat, bahwa dia terus-menerus dapat meminta pengampunan Tuhan atas dosanya di masa lalu, namun itupun tidak dapat menghapus perasaan bersalah. Ini adalah reaksi abnormal yang disebabkan oleh situasi lingkungan tertentu, biasanya dari masa kecil dan dapat disebut sebagai rasa bersalah semu.
Pseudo guilt menurut Naramore (1981: 106) merupakan perasaan bersalah yang berat yang biasanya berasal dari pengalaman masa kecil. Salah satu penyebab paling sering dari rasa bersalah semu adalah perilaku orang tua yang ditandai dengan kecaman, menyalahkan dan menuduh. Banyak anak dibuat merasa bersalah atas tindakan yang tidak ada hubungannya dengan pelanggaran hukum Allah. Orang tua, guru dan orang dewasa penting lainnya sering memperlakukan anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang menyebabkan perasaan ketidakamanan dan tidak mampu, mereka mulai bereaksi terhadap frustrasi dan konflik secara intropunitive. Mereka menyalahkan diri sendiri karena semua kesulitan dan menciptakan perasaan bersalah yang serius dan depresi.  Menurut Fred (Semiun, 2006: 66) Orang tua memberikan hukuman atas tingkah laku yang tidak tepat dan mengatakan pada anak apa yang tidak boleh dilakukannya, apapun yang mereka katakan salah dan menghukum anak.
Orang yang rentan terhadap rasa bersalah semu juga mungkin merasa sulit untuk menerima ampunan, walaupun dia telah dimaafkan tapi dia masih merasa bersalah. Dinamika dasar dari masalah ini adalah kenyataan bahwa individu merasa tidak layak dan berusaha untuk menghukum dirinya dirinya sendiri dengan selalu merasa tidak layak.
Karakteristik atau gejala rasa bersalah
Perasaan bersalah baik yang real maupun pseudo dapat menunjukkan dirinya dalam berbagai cara. Individu  adalah organisme yang rumit, mampu memberi berbagai macam tanggapan terpadu, ini terlihat wajar bahwa ia memiliki perasaan bersalah dalam bentuk yang beragam dan rumit.
Berikut ini adalah beberapa gejala yang lebih umum dari perasaan bersalah, menurut Narramore mereka mungkin merasa bersalah karena melakukan pelanggaran yang sebenarnya dari hukum Allah atau dengan ketidakmampuan menyesuaikan diri emosional seseorang.
a.       Perilaku teladan (examplary behavior). Individu berperilaku ramah dan baik untuk menutupi perasaan yang sebenarnya terjadi pada dirinya dari rasa bersalah.
b.      Keluhan pada tubuh (somatic bodily complaints). Hal ini bersifat emosional yang menunjukkan dirinya dalam reaksi psikologis seperti kelelahan dan sakit kepala.
c.       Perasaan Depresi (feelings of depression). Orang yang merasa bersalah terus-menerus menyalahkan dirinya, pola reaksi ini dapat menyebabkan perasaan depresi serius.
d.      Indulgensi lanjutan (further indulgence). Hal ini melibatkan/mengumbar lebih lanjut dalam praktek yang salah yang merupakan hasil dari sikap kekalahan atau dihitung untuk membawa perasaan bersalah tambahan, sehingga menimbulkan suatu bentuk hukuman diri.Top of Form
e.       Penghukuman diri (self-condemnation). Seseorang terus mengutuk atau menyalahkan dirinya karena telah melakukan sesuatu yang salah, memalukan atau jahat, hal ini berkaitan dengan perasaan depresi.
f.       Hukuman diri (self-punishment). Individu menghukum dirinya sendiri dengan menyangkal dirinya sendiri seperti kebutuhan makanan, pakaian atau materi lainnya. Pada suku primitif hal ini dilakukan dengan melakukan kekerasan fisik pada diri mereka sendiri, hal inia dalah upaya untuk menebus perasaan dosa.
g.      Penolakan harapan (expectation of disapproval). Individu mengantisipasi penolakan dan kutukan dari orang-orang tentang dia dan merasa bahwa dunia menganggap dia tidak berharga.
h.      Proyeksi dan kritik yang tidak semestinya (projection and undue criticism). Orang itu terus-menerus menyalahkan orang lain
i.        Permusuhan (hostility). Individu umumnya memusuhi orang lain karena perasaannya bersalah pada dirinya sendiri.
j.        Kompensasi (compensation). Merupakan upaya untuk meredakan hati nurani individu dengan melakukan perbuatan baik, bergabung dengan organisasi yang dihormati dan melakukan amal.

0 comments:

Post a Comment