Rasa
bersalah banyak didefinisikan
sebagai perasaan berdosa,
kejahatan, perlakuan yang salah dan gagal
memenuhi syarat (Naramore 1981). Rasa
bersalah datang ketika seseorang telah
memahami mengenai mana benar dan salah.
Secara historis, rasa bersalah
timbul ketika individu terlibat dalam tindakan melanggar hukum, seperti yang dikatakan Salzmann “Historically, the concept of guilt has
involved an act transgressing or breaking a law.” (Salzmann,1983 dalam John Banmen 1988)”. Banmen mengemukakan juga bahwa dalam tradisi Yahudi-Kristen rasa
bersalah didefinisikan sebagai hasil dari perbuatan dosa atau pelanggaran hukum
Tuhan yang berfokus pada tindakan spesifik pelanggaran dalam hubungan antara
manusia dan Tuhan (John Banmen, 1988:
79-91).
Penekanan
konsep rasa bersalah yang sebelumnya lebih terfokus pada pada tindakan pelanggaran, kini oleh
psikolog rasa bersalah lebih berfokus pada perasaan terhadap diri sendiri ketika perilaku
seseorang melanggar batasan perilaku moral. Pels 1951 (Banmen, 1988)
menyebutkan “defines guilt as a ‘self-punitive,
vindictive attitude towards oneself’’. Definisi ini lebih menekankan kepada
sikap terhadap diri sendiri.
Faktor penyebab rasa bersalah
Menurut
Narramore individu mungkin merasa bersalah karena
melakukan pelanggaran yang
sebenarnya dari hukum Allah (Real guilt) atau ketidakmampuan menyesuaikan diri
secara emosional (Pseudo Guilt)
Menurut
Freud, rasa bersalah
didasarkan pada internalisasi nilai-nilai dari orang tua dan masyarakat. Rasa
bersalah dimulai ketika anak-anak takut hukuman dan kehilangan kasih sayang
orang tua saat mereka melanggar norma sosial.
Menurut
Sigmund Freud (Semiun, 2006: 67) perasaan bersalah terjadi apabila
ego bertindak –atau bahkan bermaksud– untuk bertindak bertentangan bertentangan
dengan norma-norma moral superego. Freud juga menyebutkan bahwa perasaan
bersalah adalah fungsi suara hati yaitu hasil dari pengalaman dengan hukuman
yang diberikan orang tua atas tingkah laku yang tidak tepat. Superego merupakan
cita-cita dan nilai-nilai anak yang dipelajari dari orang tua dan
kebudayaannya. Ketika ego merespon rangsangan dari id yang melanggar superego, maka perasaan
bersalah bisa terjadi, selain Freud, dalam kaitannya
dengan rasa bersalah yang pengaruhnya berasal dari keluarga, Erikson
menyatakan bahwa ada delapan tahap perkembangan psiko-sosial, menurut Erikson
pada tahap ke tiga yaitu saat individu berusia 3-6 tahun sebagai masa umur
bermain atau genital locomotor, pada
masa ini anak mengalamai krisis psikososial yang disebut tahap Initiative versus Guilt yaitu anak belajar untuk berinisiatif tanpa terlalu
banyak merasa bersalah, Lingkungan sosial utama yang berpengaruh terhadap
perkembangan masa ini adalah lingkungan keluarga. Inisiatif maksudnya respon
positif pada tantangan dunia, tanggung jawab, belajar keahlian baru dan merasa
bermanfaat.
Orang tua mengharapkan inisiatif
yang ditimbulkan anak adalah anak mampu mengeluarkan idenya, inisiatif adalah
usaha untuk mengubah sesuatu menjadi kenyataan (Yusuf dan Juntika Nurihsan, 2008).
Orang tua harus bertanggung jawab, mensosialisasikan dan mengharapkan anak
tumbuh bukan menjadi bayi lagi, tapi jika proses ini terlalu kasar dan
tiba-tiba, anak belajar merasa bersalah tentang perasaannya.
Jika dalam setiap tingkat
perkembangan dapat diatur dengan baik, maka akan berpengaruh baik terhadap
kekuatan psikososial, sebaliknya jika kita tidak bisa mengaturnya dengan baik
maka akan tumbuh sikap maladaptif dan kekacauan yang akan membahayakan masa
depan (Yusuf dan Juntika Nurihsan, 2008) ini berimplikasi bahwa jika pada usia
bermain ini, lingkungan sosial terutama keluarga tidak memberikan kesempatan
pada anak untuk bermain, jika anak tidak belajar untuk berinisiatif dan
memiliki rasa bersalah, maka anak akan tumbuh perilaku maladaptif yang disebut inhibition.
Rasa bersalah (guilty
feeling) terbagi kedalam dua jenis, yaitu rasa bersalah yang benar dan rasa
bersalah semu.
Rasa
bersalah benar (Real Guilt): Pada
setiap orang biasanya melekat kecenderungan untuk berbuat dosa atau melanggar
hukum Tuhan.
Perasaan telah berbuat jahat dan telah
melakukan tindak kesalahan karena melanggar hukum Tuhan inilah yang biasanya disebut
rasa bersalah yang benar,
Naramore (1981: 106) mengungkapkan real guilt adalah perasaan sebenarnya
dari dosa dan rasa bersalah merupakan hasil dari pelanggaran hukum-hukum Allah
dan penolakan untuk mengakui dosa-dosa ini. Orang yang merasa bersalah karena
dihadapkan pada suatu kesalahan atau dosa, dia menderita ketegangan, kecemasan
dan perasaan bersalah. Disadari atau tidak, setiap orang dalam dirinya pasti
memiliki perasaan bersalah. Orang yang telah bertaubat pun juga mengalami
perasaan dosa dan rasa bersalah yang realistis.
Narramore mengutip dari Alkitab,
sebagai bagian dari keyakinan umat kristiani, “Sebab itu,
sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh SATU ORANG, dan oleh dosa itu
juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua
orang telah berbuat dosa.” (Romans 5:12). Ketika dosa sangat
berat atas jiwa baru yang belum lahir, adalah wajar ia merasa tekanan itu.
Ketika perasaan bersalah ini membawa pada pertobatan
dan penyerahan diri kepada
Kristus, Allah mengampuni dosa
dan tekanan rasa bersalah akan dihapus. Seperti kisah Adam dan Hawa yang melanggar perintah Tuhan
karena telah memakan buah larangan. Di sini terlihat dosa yang dilakukan
merupakan suatu kesalahan, begitu juga dengan setiap individu yang melakukan
dosa atau kesalahan.
Umat
kristiani percaya mereka dapat dilahirkan
kembali dalam hidup baru. “Jadi siapa yang
ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru yang lama sudah
berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang”. Maksud dari kutipan ini
menurut umat kristiani adalah bahwa manusia yang berdosa dan tidak mengenal
Allah setelah masuk dan percaya di dalam Kristus maka ia akan menjadi ciptaan
baru, masuk ke dalam hidup baru. Mereka
percaya setiap orang memiliki berhubungan langsung kepada Allah melalui
Kristus yang akan mengampuni anak berdosa saat ia
meminta pengampunan setiap hari. “Jika kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam
kita. Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah
setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan”
(Yohanes 1:8).
Umat kristiani menganggap bahwa Allah menginginkan kita
mengakui perbuatan dosa kita dan memohon maaf kepada Allah, maka Allah akan
senantiasa mengampuni dosa kita. Jika kita tidak mengakui dosa kita dan
menyangkal perbuatan dosa kita maka Allah akan murka terhadap kita dengan
perbuatan dosa kita, demikian menurut apa yang dituliskan Narramore.
Rasa bersalah semu (Pseudo Guilt): terkadang
rasa bersalah atau rasa berdosa yang muncul pada diri seseorang sering bukan
merupakan pengalaman spritual malainkan hasil dari situasi emosional semata. Seseorang mungkin
sudah berkomitmen hidupnya kepada
Kristus tapi masih tidak bisa
menyingkirkan perasaan bersalah. Sebagaimana
Narramore berpendapat, bahwa dia terus-menerus
dapat meminta pengampunan Tuhan atas dosanya di masa lalu, namun itupun
tidak dapat menghapus perasaan bersalah. Ini adalah reaksi abnormal yang disebabkan
oleh situasi lingkungan tertentu,
biasanya dari masa kecil dan dapat
disebut sebagai rasa bersalah semu.
Pseudo
guilt menurut Naramore (1981: 106) merupakan perasaan bersalah
yang berat yang biasanya berasal dari pengalaman masa kecil. Salah satu
penyebab paling sering dari rasa bersalah semu adalah perilaku orang tua yang
ditandai dengan kecaman, menyalahkan dan menuduh. Banyak anak dibuat merasa
bersalah atas tindakan yang tidak ada hubungannya dengan pelanggaran hukum
Allah. Orang tua, guru dan orang dewasa penting lainnya sering memperlakukan
anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang menyebabkan perasaan ketidakamanan dan
tidak mampu, mereka mulai bereaksi terhadap frustrasi dan konflik secara
intropunitive. Mereka menyalahkan diri sendiri karena semua kesulitan dan
menciptakan perasaan bersalah yang serius dan depresi. Menurut Fred (Semiun, 2006: 66) Orang tua
memberikan hukuman atas tingkah laku yang tidak tepat dan mengatakan pada anak
apa yang tidak boleh dilakukannya, apapun yang mereka katakan salah dan
menghukum anak.
Orang yang rentan terhadap rasa
bersalah semu juga mungkin merasa sulit untuk menerima ampunan, walaupun dia
telah dimaafkan tapi dia masih merasa bersalah. Dinamika dasar dari masalah ini
adalah kenyataan bahwa individu merasa tidak layak dan berusaha untuk menghukum
dirinya dirinya sendiri dengan selalu merasa tidak layak.
Karakteristik
atau gejala rasa bersalah
Perasaan bersalah baik yang real maupun pseudo dapat menunjukkan dirinya dalam
berbagai cara. Individu adalah organisme yang rumit,
mampu memberi berbagai macam tanggapan
terpadu, ini terlihat wajar bahwa ia memiliki perasaan
bersalah dalam bentuk
yang beragam dan rumit.
Berikut
ini adalah beberapa gejala yang lebih umum dari perasaan bersalah, menurut Narramore mereka mungkin merasa
bersalah karena melakukan pelanggaran yang sebenarnya dari hukum Allah atau dengan ketidakmampuan menyesuaikan diri
emosional seseorang.
a.
Perilaku teladan (examplary behavior). Individu berperilaku ramah dan baik untuk
menutupi perasaan yang sebenarnya terjadi pada dirinya dari rasa bersalah.
b.
Keluhan pada tubuh (somatic bodily complaints). Hal ini bersifat emosional yang
menunjukkan dirinya dalam reaksi psikologis seperti kelelahan dan sakit kepala.
c.
Perasaan Depresi (feelings of depression). Orang yang merasa bersalah terus-menerus
menyalahkan dirinya, pola reaksi ini dapat menyebabkan perasaan depresi serius.
d.
Indulgensi lanjutan (further indulgence). Hal ini melibatkan/mengumbar lebih lanjut
dalam praktek yang salah yang merupakan hasil dari sikap kekalahan atau
dihitung untuk membawa perasaan bersalah tambahan, sehingga menimbulkan suatu
bentuk hukuman diri.
e.
Penghukuman diri (self-condemnation). Seseorang terus mengutuk atau menyalahkan
dirinya karena telah melakukan sesuatu yang salah, memalukan atau jahat, hal
ini berkaitan dengan perasaan depresi.
f.
Hukuman diri (self-punishment).
Individu menghukum dirinya sendiri dengan menyangkal dirinya sendiri seperti
kebutuhan makanan, pakaian atau materi lainnya. Pada suku primitif hal ini
dilakukan dengan melakukan kekerasan fisik pada diri mereka sendiri, hal inia
dalah upaya untuk menebus perasaan dosa.
g.
Penolakan harapan (expectation of disapproval). Individu mengantisipasi penolakan dan
kutukan dari orang-orang tentang dia dan merasa bahwa dunia menganggap dia
tidak berharga.
h. Proyeksi dan kritik yang tidak
semestinya (projection and undue
criticism). Orang itu terus-menerus menyalahkan orang lain
i.
Permusuhan (hostility).
Individu umumnya memusuhi orang lain karena perasaannya bersalah pada dirinya
sendiri.
j.
Kompensasi (compensation).
Merupakan upaya untuk meredakan hati nurani individu dengan melakukan perbuatan
baik, bergabung dengan organisasi yang dihormati dan melakukan amal.
0 comments:
Post a Comment